Petuah 1

Umar berpesan hadapilah dirimu sendiri sebelum kau berhadapan dengan kehidupan akhirat dan pertimbangkanlah segala tindakan sebelum ditimbang di neraca keadilan

Petuah 2

“Dan Orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, niscaya kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan KAMI. Sesunguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik”

Petuah 3

“Siapa yang mencari Ridho Allah sekalipun dibenci manusia, maka Allah akan lindungi dia dari murka manusia” jangan takut berkarya selama dalam kebenaran

Petuah 4

Sesungguhnya semulia mulia iman seorang mukmin adalah yang paling bagus budi pekertinya dan paling lemah lembut kepada keluarganya (HR Tirmudzi)

Petuah 5

Menggali potensi diri adalah seperti mengarungi samudra tanpa batas, selamanya anda tidak akan pernah tuntas mengeksplorasi dan mengeksploitasi nya

Ikhlas Beramal


Diriwayatkan dari Amir al-Mukminin (pemimpin kaum beriman) Abu Hafsh Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلي ما هاجر إليه

“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])

Faedah Hadits

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek (Syarh Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih Bukhari] dengan hadits ini dan dia menempatkannya laiknya sebuah khutbah [pembuka] untuk kitab itu. Dengan hal itu seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di akhirat.” (Jami’ al-’Ulum, hal. 13)

Ibnu as-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal non ibadat tidak akan bisa membuahkan pahala kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri [kepada Allah]. Seperti contohnya; makan -bisa mendatangkan pahala- apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari [1/17]. Lihat penjelasan serupa dalam al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 129, ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 39-40)

Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, hadits ini juga merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).

Macam-Macam Niat

Istilah niat meliputi dua hal; menyengaja melakukan suatu amalan [niyat al-'amal] dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu [niyat al-ma'mul lahu].

Yang dimaksud niyatu al-’amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amal, seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain. Misalnya mandi, harus dipertegas di dalam hatinya apakah niatnya untuk mandi biasa ataukah mandi besar. Dengan niat semacam ini akan terbedakan antara perbuatan ibadat dan non-ibadat/adat. Demikian juga, akan terbedakan antara jenis ibadah yang satu dengan jenis ibadah lainnya. Misalnya, ketika mengerjakan shalat [2 raka'at] harus dibedakan di dalam hati antara shalat wajib dengan yang sunnah. Inilah makna niat yang sering disebut dalam kitab-kitab fikih.

Sedangkan niyat al-ma’mul lahu maksudnya adalah hendaknya ketika beramal tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas. Inilah maksud kata niat yang sering disebut dalam kitab aqidah atau penyucian jiwa yang ditulis oleh banyak ulama salaf dan disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam al-Qur’an, niat semacam ini diungkapkan dengan kata-kata iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari). (Diringkas dari keterangan Syaikh as-Sa’di dalam Bahjat al-Qulub al-Abrar, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 36-37 dengan sedikit penambahan dari Jami’ al-’Ulum oleh Ibnu Rajab hal. 16-17)

Pentingnya Ikhlas

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)

al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di atas sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ [8/95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 50. Lihat pula Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)

Pada suatu saat sampai berita kepada Abu Bakar tentang pujian orang-orang terhadap dirinya. Maka beliau pun berdoa kepada Allah, “Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.” (Kitab Az Zuhd Nu’aim bin Hamad, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 119)

Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19). Ibnu al-Mubarak rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)

Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)

Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau berkata, “Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)

Begitu pula ketika salah seorang muridnya mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau, maka Imam Ahmad mengatakan kepada si murid, “Wahai Abu Bakar. Apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya sendiri maka ucapan orang tidak akan berguna baginya.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)

Ad Daruquthni rahimahullah mengatakan, “Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi ternyata ilmu enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)

Asy Syathibi rahimahullah mengatakan, “Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang salih adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)

Di dalam biografi Ayyub As Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan, “Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)

Seorang ulama mengatakan, “Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ’sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” (Al Fawa’id, hal. 158).

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 49)


www.muslim.or.id

Kenapa Mesti Ada Prasangka


“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu mempergunjingkan sebagian yang lain….” (Al-Hujurat: 12)

Betapa damainya Dinul Islam. Sungguh, Islam diturunkan Allah untuk menebar damai dan kasih sayang. Kepada siapa pun. Termasuk bagi mereka yang belum bersedia memeluk sejuknya sentuhan Islam.

Seorang muslim sejati akan senantiasa mempunyai warna yang sama dengan warna Islam nan sejuk dan damai. Hatinya begitu damai. Lembut dan bersih. Tak ada keluh kesah. Tak ada marah, kecuali pada sesuatu yang dibenci Allah. Bahkan, tak secuil prasangka pun yang bisa hinggap. Semuanya terkikis habis dengan lantunan zikir.

Maha Benar Allah atas firmanNya dalam surah Ar-Ra’d ayat 28. “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.”

Damai dan tenteramnya hidup tanpa prasangka telah diperlihatkan di semua sisi kehidupan Baginda Rasulullah saw. Kepada siapa pun. Walaupun terhadap orang yang teramat baru menyatakan diri sebagai seorang muslim.

Beliau saw pernah marah dengan seorang sahabat. Pasalnya, pada sebuah pertempuran, sahabat ini membunuh anggota pasukan kafir yang tiba-tiba mengucapkan dua kalimat syahadat. Sahabat ini berkilah, “Orang kafir itu hanya bersiasat agar tidak dibunuh.” Dengan tenang, Rasulullah saw meluruskan ucapan sahabat tersebut, sudahkah Anda bedah tubuh orang itu dan mendapatkan kenyataan bahwa hatinya memang dusta?

Lahirnya prasangka dalam hati seorang hamba Allah sebenarnya memperlihatkan kelemahan hamba itu sendiri. Karena racun prasangka bisa merusak nalar seseorang sehingga tidak mampu berpikir objektif, apa adanya. Hati dan pikirannya selalu dibayang-bayangi curiga.

Ada beberapa hal yang menjadikan seseorang terjebak dalam kubangan prasangka. Pertama, lemahnya pendekatan diri kepada Allah. Jauhdekatnya seorang hamba Allah sangat berpengaruh pada kesuburan dan kesegaran hati sang hamba. Kesegaran itu kian menguatkan hamba Allah dalam mawas diri. Ia akan mencermati benalu-benalu hati yang mungkin tumbuh. Dan mencabutnya dengan penuh teliti.

Sebaliknya, jika menjauh dari Allah, hati hamba itu akan ditumbuhi karat. Dan bayang-bayang cermin hatinya pun menjadi keruh. Hati seperti ini tak lagi mampu memantulkan cahaya Allah yang telah bersinar ke seluruh alam. Sebaliknya, pantulan hati ini begitu redup. Suram. Bahkan, menakutkan.

Maha Suci Allah Yang telah mengajarkan hamba-hambaNya tentang penjagaan hati. “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan supaya mereka jangan seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepada mereka kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadiid: 16)

Kedua, pengalaman masa lalu. Pengalaman masa lalu kadang punya bekas yang begitu kuat. Ia bisa lahir dari rutinitas kehidupan masa kecil. Anak yang dibiasakan hidup tertutup akan cenderung tumbuh sebagai manusia dewasa yang egois. Dan anak yang dibiasakan hidup di bawah tekanan akan tumbuh sebagai manusia dewasa yang mudah putus asa. Begitu pun dengan prasangka. Anak yang hidup dalam bayang-bayang ketidakpercayaan orang tua akan tumbuh menjadi manusia curiga dan penuh prasangka.

Sedemikian kuatnya pengaruh orangtua, Rasulullah saw pernah mengatakan, “Tiap bayi lahir dalam keadaan suci. Orangtuanyalah yang akan membentuk sang bayi, apakah menjadi yahudi, nasrani, atau majusi.”

Adakalanya, pengalaman besar yang tidak mengenakkan mampu melahirkan prasangka permanen. Seorang calon pegawai yang pernah ditipu jutaan rupiah akan menyisakan prasangka berkelanjutan. Atau, seseorang yang merasa dibodohi oleh pemimpin politiknya, akan menebar prasangka pada partai politik mana pun. Begitulah seterusnya.

Ketiga, pengaruh lingkungan. Lingkungan kerap menjadi guru kedua setelah sekolah. Tak jarang, terjadi tarik-menarik pada diri seseorang murid antara pengaruh pendidikan sekolah dengan perilaku lingkungan. Lingkungan membentuk seseorang menjadi sosok baru yang identik dengan lingkungannya.

Sering terjadi, sebuah lingkungan yang teramat jarang melakukan tegur sapa antara sesama anggota warganya, akan penuh curiga mencermati orang ramah nan penuh sapa. Sapaan ramah itu justru dibalas dengan curiga. “Jangan-jangan orang ini punya niat busuk,” begitu kira-kira reaksi masyarakat sekitar.

Semua itu, mungkin berawal dari pola pandang yang salah dengan dunia sekitar. Semua orang berperilaku buruk, kecuali telah terbukti menghasilkan kebaikan. Dan kesalahan ini akan sangat berakibat fatal jika diberlakukan kepada Yang Maha Pencipta, Pemberi rezeki, dan Penentu takdir. “dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah…” (Al-Fat-h: 6)

Prasangka terhadap Allah tidak tertutup kemungkinan terjadi pada seorang mukmin. Sebuah keputusan yang begitu bijaksana dari Yang Maha Bijaksana bisa disalahartikan. Kebodohan manusia kerap membuahkan prasangka kepada Yang Maha Bijaksana. Begitulah yang pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Kenyataannya, ada sebagian mukmin yang enggan berperang. Mereka menilai bahwa keputusan itu kurang tepat. Karena perang identik dengan kekerasan. Surah Al-Anfal ayat 5 menggambar hal itu, “Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, dan sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman tidak menyukainya.”

Sungguh, kebodohan manusia kerap menjebak manusia pada prasangka, kepada sesama mukmin atau kepada Allah. Kebodohan seperti itu tak ubahnya seperti anak kecil yang buruk sangka pada obat. Karena si anak kecil hanya tahu kalau obat itu pahit.

Seorang mukmin sejati tak akan pernah lelah merawat hati. Ia senantiasa menyiram tanaman hati itu dengan air ruhani yang bermineral tinggi, menebar pupuk amal yang tak pernah henti. Dan, juga mencabut segala benalu prasangka dan dengki.

Seperti itulah seorang mukmin. Hatinya segar dalam zikir, seraya lidahnya memanjatkan doa, “…Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian (bersemi) dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman: Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)

Oleh: Muhammad Nuh
dakwatuna.com

Beberapa Wanita Yang Mendapat Pujian Allah


Sejarah kaum muslim telah mencatat terdapat beberapa nama wanita terpandang yang di antara mereka ada yang dimuliakan Allah Ta’ala dengan surga, dan di antara mereka ada pula yang dihinakan Allah Ta’ala dengan neraka. Pada kesempatan kali ini, marilah kita mencoba menambah pengetahuan kita dengan mengenal figur beberapa wanita yang dipuji oleh Allah Ta’ala. Mudah-mudahan apa yang sedikit ini bisa menjadi pelajaran bagi kita.Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Seutama-utama wanita ahli surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran dan Asiyah binti Muzahim.” (HR. Ahmad)

Khadijah binti Khuwailid rodhiyallahu anha

Dia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang terhormat sehingga mendapat tempaan akhlak yang mulia, sifat yang tegas, penalaran yang tinggi, dan mampu menghindari hal-hal yang tidak terpuji sehingga kaumnya pada masa jahiliyah menyebutnya dengan ath thahirah (wanita yang suci). Dia merupakan orang pertama yang menyambut seruan iman yang dibawa Muhammad tanpa banyak membantah dan berdebat, bahkan ia tetap membenarkan, menghibur, dan membela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat semua orang mendustakan dan mengucilkan beliau. Khadijah telah mengorbankan seluruh hidupnya, jiwa dan hartanya untuk kepentingan dakwah di jalan Allah. Ia rela melepaskan kedudukannya yang terhormat di kalangan bangsanya dan ikut merasakan embargo yang dikenakan pada keluarganya.

Pribadinya yang tenang membuatnya tidak tergesa-gesa dalam meng-ambil keputusan mengikuti kebanyakan pendapat penduduk negerinya yang menganggap Muhammad sebagai orang yang telah merusak tatanan dan tradisi luhur bangsanya. Karena keteguhan hati dan keistiqomahannya dalam beriman inilah Allah berkenan menitip salamNya lewat Jibril untuk Khadijah dan menyiapkan sebuah rumah baginya di surga. Tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah rodhiyallahu anhu, ia berkata: “Jibril datang kepada Nabi kemudian berkata: Wahai Rasulullah, ini Khadijah datang membawa bejana berisi lauk pauk, makanan dan minuman. Maka jika ia telah tiba, sampaikan salam untuknya dari Rabbnya dan dari aku, dan sampaikan kabar gembira untuknya dengan sebuah rumah dari mutiara di surga, tidak ada keributan di dalamnya dan tidak pula ada kepayahan.” (HR. Al-Bukhari).

Besarnya keimanan Khadijah rodhiyallahu anha pada risalah nubuwah, dan kemuliaan akhlaknya sangat membekas di hati Rasulullah sehingga beliau selalu menyebut-nyebut kebaikannya walaupun Khadijah telah wafat. Diriwayatkan dari Aisyah rodhiyallahu anha, beliau berkata: “Rasulullah hampir tidak pernah keluar dari rumah sehingga beliau menyebut-nyebut kebaikan tentang Khadijah dan memuji-mujinya setiap hari sehingga aku menjadi cemburu maka aku berkata: Bukankah ia seorang wanita tua yang Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik untuk engkau? Maka beliau marah sampai berkerut dahinya kemudian bersabda: Tidak! Demi Allah, Allah tidak memberiku ganti yang lebih baik darinya. Sungguh ia telah beriman di saat manusia mendustakanku, dan menolongku dengan harta di saat manusia menjauhiku, dan dengannya Allah mengaruniakan anak padaku dan tidak dengan wanita (istri) yang lain. Aisyah berkata: Maka aku berjanji untuk tidak menjelek-jelekkannya selama-lamanya.”

Fatimah rodhiyallahu anha

Dia adalah belahan jiwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri wanita terpandang dan mantap agamanya, istri dari laki-laki ahli surga yaitu Ali bin Abi Thalib. Dalam shahih Muslim menurut syarah An Nawawi Nabi bersabda: “Fathimah merupakan belahan diriku. Siapa yang menyakitinya, berarti menyakitiku.”

Dia rela hidup dalam kefakiran untuk mengecap manisnya iman bersama ayah dan suami tercinta. Dia korbankan segala apa yang dia miliki demi membantu menegakkan agama suami. Fathimah rodhiyallahu anha adalah wanita yang penyabar, taat beragama, baik perangainya, cepat puas dan suka bersyukur.

Maryam binti Imran rodhiyallahu anha

Beliau merupakan figur wanita yang menjaga kehormatan dirinya dan taat beribadah kepada Rabbnya. Beliau rela mengorbankan masa remajanya untuk bermunajat mendekatkan diri pada Allah, sehingga Dia memberinya hadiah istimewa berupa kelahiran seorang Nabi dari rahimnya tanpa bapak. Dan Allah berfirman, yang artinya: “Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Rabbnya dan kitab-kitabNya; dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat” (QS. At-Tahrim: 12)

Asiyah binti Muzahim rodhiyallahu anha

Beliau adalah istri dari seorang penguasa yang lalim yaitu Fir’aun laknatullah ‘alaih. Akibat dari keimanan Asiyah kepada kerasulan Musa, ia harus rela menerima siksaan pedih dari suaminya. Betapapun besar kecintaan dan kepatuhannya pada suami ternyata di hatinya masih tersedia tempat tertinggi yang ia isi dengan cinta pada Allah dan RasulNya. Surga menjadi tujuan akhirnya sehingga kesulitan dan kepedihan yang ia rasakan di dunia sebagai akibat meninggalkan kemewahan hidup, budaya dan tradisi leluhur yang menyelisihi syariat Allah ia telan begitu saja bak pil kina demi kesenangan abadi. Akhirnya Asiyah meninggal dalam keadaan tersenyum dalam siksaan pengikut Fir’aun.

Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata: “Fir’aun memukulkan kedua tangan dan kakinya (Asiyah) dalam keadaan terikat. Maka ketika mereka (Fir’aun dan pengikutnya) meninggalkan Asiyah, malaikat menaunginya lalu ia berkata: Ya Rabb bangunkan sebuah rumah bagiku di sisimu dalam surga. Maka Allah perlihatkan rumah yang telah disediakan untuknya di surga sebelum meninggal.”

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbi, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkan aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang dhalim” (QS. At-Tahrim: 11)

(Sumber Rujukan: Ahkamun Nisa’, Ibnul Jauzi. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Atsqalani. Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri.)

Entry Filed under: Akhwat, Al Muslimah, Annisa, Emansipasi, Islam, Islamic, Muslim, Muslimah, Perempuan, Religion, Religius, Tentang Perempuan, Tentang Wanita, Ukthi, Wanita, Wanita Islam, Women

MediaMuslim.Info

Asiyah, Wanita yang Ditampakkan Surga Untuknya


Wanita, sosok lemah dan tak berdaya yang terbayangkan. Dengan lemahnya fisik, Allah tidak membebankan tanggung jawab nafkah di pundak wanita, memberi banyak keringanan dalam ibadah dan perkara lainnya. Mereka adalah sosok yang mudah mengeluh dan tidak tahan dengan beban yang menghimpitnya. Dengan kebengkokannya sehingga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersikap lembut dan banyak mewasiatkan agar bersikap baik kepadanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan kiranya jika Allah Tabaroka wa Ta’ala dengan segala hikmah-Nya mengamanahkan kaum wanita kepada kaum laki-laki.

Namun, kelemahan itu tak harus melunturkan keteguhan iman. Sebagaimana keteguhan salah seorang putri, istri dari seorang suami yang menjadi musuh Allah Rabb alam semesta. Seorang suami yang angkuh atas kekuasaan yang ada di tangannya, yang dusta lagi kufur kepada Rabbnya. Putri yang akhirnya harus disiksa oleh tangan suaminya sendiri, yang disiksa karena keimanannya kepada Allah Dzat Yang Maha Tinggi. Dialah Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun.

Ketika mengetahui keimanan istrinya kepada Allah, maka murkalah Fir’aun. Dengan keimanan dan keteguhan hati, wanita shalihah tersebut tidak goyah pendiriaannya, meski mendapat ancaman dan siksaan dari suaminya.

Kemudian keluarlah sang suami yang dzalim ini kepada kaumnya dan berkata pada mereka, “Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah binti Muzahaim?” Mereka menyanjungnya.Lalu Fir’aun berkata lagi kepada mereka,“Sesungguhnya dia menyembah Tuhan selainku.” Berkatalah mereka kepadanya,“Bunuhlah dia!”

Alangkah beratnya ujian wanita ini, disiksa oleh suaminya sendiri.

Dimulailah siksaan itu, Fir’aun pun memerintahkan para algojonya untuk memasang tonggak. Diikatlah kedua tangan dan kaki Asiyah pada tonggak tersebut, kemudian dibawanya wanita tersebut di bawah sengatan terik matahari. Belum cukup sampai disitu siksaan yang ditimpakan suaminya. Kedua tangan dan kaki Asiyah dipaku dan di atas punggungnya diletakkan batu yang besar. Subhanallah…saudariku, mampukah kita menghadapi siksaan semacam itu? Siksaan yang lebih layak ditimpakan kepada seorang laki-laki yang lebih kuat secara fisik dan bukan ditimpakan atas diri wanita yang bertubuh lemah tak berdaya. Siksaan yang apabila ditimpakan atas wanita sekarang, mugkin akan lebih memilih menyerah daripada mengalami siksaan semacam itu.

Namun, akankah siksaan itu menggeser keteguhan hati Asiyah walau sekejap? Sungguh siksaan itu tak sedikitpun mampu menggeser keimanan wanita mulia itu. Akan tetapi, siksaan-siksaan itu justru semakin menguatkan keimanannya.

Iman yang berangkat dari hati yang tulus, apapun yang menimpanya tidak sebanding dengan harapan atas apa yang dijanjikan di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala. Maka Allah pun tidak menyia-nyiakan keteguhan iman wanita ini. Ketika Fir’aun dan algojonya meninggalkan Asiyah, para malaikat pun datang menaunginya.

Di tengah beratnya siksaan yang menimpanya, wanita mulia ini senantiasa berdo’a memohon untuk dibuatkan rumah di surga. Allah mengabulkan doa Asiyah, maka disingkaplah hijab dan ia melihat rumahnya yang dibangun di dalam surga. Diabadikanlah doa wanita mulia ini di dalam al-Qur’an,

“Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang dzalim.” (Qs. At-Tahrim:11)

Ketika melihat rumahnya di surga dibangun, maka berbahagialah wanita mulia ini. Semakin hari semakin kuat kerinduan hatinya untuk memasukinya. Ia tak peduli lagi dengan siksaan Fir’aun dan algojonya. Ia malah tersenyum gembira yang membuat Fir’aun bingung dan terheran-heran. Bagaimana mungkin orang yang disiksa akan tetapi malah tertawa riang? Sungguh terasa aneh semua itu baginya. Jika seandainya apa yang dilihat wanita ini ditampakkan juga padanya, maka kekuasaan dan kerajaannya tidak ada apa-apanya.

Maka tibalah saat-saat terakhir di dunia. Allah mencabut jiwa suci wanita shalihah ini dan menaikkannya menuju rahmat dan keridhaan-Nya. Berakhir sudah penderitaan dan siksaan dunia, siksaan dari suami yang tak berperikemanusiaan.

Saudariku..tidakkah kita iri dengan kedudukan wanita mulia ini? Apakah kita tidak menginginkan kedudukan itu? Kedudukan tertinggi di sisi Allah Yang Maha Tinggi. Akan tetapi adakah kita telah berbuat amal untuk meraih kemuliaan itu? Kemuliaan yang hanya bisa diraih dengan amal shalih dan pengorbanan. Tidak ada kemuliaan diraih dengan memanjakan diri dan kemewahan.

Saudariku..tidakkah kita menjadikan Asiyah sebagai teladan hidup kita untuk meraih kemuliaan itu? Apakah kita tidak malu dengannya, dimana dia seorang istri raja, gemerlap dunia mampu diraihnya, istana dan segala kemewahannya dapat dengan mudah dinikmatinya. Namun, apa yang dipilihnya? Ia lebih memilih disiksa dan menderita karena keteguhan hati dan keimanannya. Ia lebih memilih kemuliaan di sisi Allah, bukan di sisi manusia. Jangan sampailah dunia yang tak seberapa ini melenakan kita. Melenakan kita untuk meraih janji Allah Ta’ala, surga dan kenikmatannya.

Saudariku…jangan sampai karena alasan kondisi kita mengorbankan keimanan kita, mengorbankan aqidah kita. Marilah kita teladani Asiyah binti Muzahim dalam mempertahankan iman. Jangan sampai bujuk rayu setan dan bala tentaranya menggoyahkan keyakinana kita. Janganlah penilaian manusia dijadikan ukuran, tapi jadikan penilaian Allah sebagai tujuan. Apapun keadaan yang menghimpit kita, seberat apapun situasinya, hendaknya ridha Allah lebih utama. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan surga tertinggi yang penuh kenikmatan.

Maraaji’:
14 Wanita Mulia dalam sejarah Islam (terjemahan dari Nisa’ Lahunna Mawaqif) karya Azhari Ahmad Mahmud

Kunci Kunci Kebaikan


MUKADIMAH

Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat dan karunia-Nya segala amalan shalih bisa terwujud dengan sempurna. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan semua orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.

Dalam beribadah kepada Allah, seorang muslim tentu sangat mengharapkan kebaikan dari Allah. Ketika dia bersyukur, bersabar ataupun ketika bertaubat dari kesalahan, pasti kebaikanlah yang dituju. Inilah sesungguhnya niat ikhlas yang ada pada diri seorang muslim ketika melakukan suatu amalan. Dia hanya mengharapkan kebaikan dari Allah SWT, tidak dari selain-Nya.

Akan tetapi, niat ikhlas semata tidaklah cukup untuk memenuhi syarat diterimanya amal ibadah seseorang. Selain ikhlas, tentu harus ada kesesuaian amal yang dilakukan dengan tuntunan syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Inilah dua hal yang dikenal sebagai dua syarat diterimanya amal ibadah di sisi Allah SWT.

Dua syarat ini bukanlah syarat yang dibuat-buat oleh manusia. Akan tetapi lebih dari itu, dua syarat ini sesungguhnya didapatkan dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya SAW dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah.

Di antara petunjuk wahyu akan syarat pertama, yaitu keikhlasan dalam beramal, adalah firman Allah SWT,

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus." (al-Bayyinah: 5)

Dan firman-Nya

"Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki- Nya di antara hamba-hamba- Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." [al-An'aam: 88]

Dan petunjuk akan syarat kedua, yaitu kesesuaian amal dengan tuntunan Rasulullah SAW, adalah sabda beliau,

"Barangsiapa melakukan amalan yang tidak ada tuntutannya dari kami, maka tertolak." [Muttafaq `alaih]

Pantas saja, jika Abdulullah bin Mas'ud pernah mengatakan, "Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun dia tidak mendapatkannya."

Dari sini saja kita bisa melihat, bahwa untuk memperoleh kebaikan yang kita inginkan tentu kita harus memiliki kuncinya. Dengan kunci tersebut, kita bisa membuka berbagai pintu-pintu kebaikan.

Dan tanpa kunci itu, kebaikan tidak akan bisa diperoleh. Maka sangat penting kiranya bagi kita untuk mengetahui kunci-kunci kebaikan yang begitu banyak.



KUNCI-KUNCI

KEBAIKAN



Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata,

"Allah telah menjadikan kunci sebagai pembuka bagi setiap perkara yang dituntut. Dia menjadikan kunci shalat adalah besuci, sebagaimana sabda Nabi SAW,

"Kunci shalat adalah bersuci."1

Dan kunci haji adalah ihram. Kunci kebajikan adalah kejujuran. Kunci surga adalah tauhid. Kunci ilmu adalah sikap yang baik dalam bertanya dan mendengar. Kunci pertolongan dan kemenangan adalah kesabaran. Kunci bertambahnya nikmat adalah syukur. Kunci kewalian adalah kecintaan dan dzikir. Kunci keberuntungan adalah takwa. Kunci taufiq adalah raghbah (rasa harap yang disertai dengan amalan) dan rahbah (rasa takut yang disertai dengan amalan).

Kunci ijabah (sambutan Allah) adalah doa. Kunci cinta akhirat adalah zuhud terhaap dunia. Kunci iman adalah memikirkan perkara yang Allah serukan untukdifikirkan oleh hamba-hambaNya. Kunci untuk menjumpai Allah adalah ketundukan hati dan keselamatan hati untuk-Nya, ikhlas kepada-Nya dalam cinta, benci, berbuat dan meninggalkan sesuatu. Kunci hidupnya hati adalah tadabbur (memperhatikan dan merenungi) al-Qur'an, merendahkan diri waktu sahar (waktu malam sebelum fajar) dan meninggalkan dosa.

Kunci mendapatkan rahmat adalah berbuat ihsan dalam beribadah kepada al-Khaliq (Sang Pencipta) dan berusaha memberi manfaat kepada hamba-hambaNya. Kunci rezeki adalah usaha yang disertai dengan istighfar (permohonan ampun kepada Allah) dan takwa, kunci kemuliaan adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kunci persiapan diri untuk akhirat adalah memperpendek angan-angan. Dan kunci segala kebaikan adalah kecintaan kepada Allah dan negri akhirat. Sedangkan kunci segala keburukan adalah cinta dunia dan panjang angan-angan.

Ini adalah permasalahan agung yang merupakan permasalahan ilmu paling bermanfaat. Yaitu mengetahui kunci-kunci kebaikan dan keburukan. Tidak ada yang mendapatkan taufik untuk mengetahui dan memperhatikannya kecuali orang yang memiliki bagian dan taufik yang besar."2

Apa yang beliau sebutkan di atas, tidaklah mencakup seluruh kunci-kunci kebaikan. Karena kita tahu bahwa kebaikan itu sendiri tidak terbatas pada apa yang beliau sebutkan. Meski demikian, perkataan itu cukup untuk memberikan gambaran kepada kita bahwa setiap kebaikan pasti ada kunci-kuncinya. Dan beliau juga menyebutkan perkara-perkara agung yang sangat dibutuhkan seorang muslim yang beriman.

Di sana masih ada kunci-kunci kebaikan yang disebutkan pada ulama yang lain. Di antaranya3,

Aun bin Abdillah berkata, "Perhatian seorang hamba terhadap dosanya akan mendorongnya untuk meninggalkan dosa itu. Dan penyesalannya atas dosa itu adalah kunci untuk bertaubat. Seorang hamba senantiasa memperhatikan dosa yang dilakukannya sehingga hal itu menjadi lebih bermanfaat baginya dari pada sebagian kebaikan-kebaikanny a."4

Sufyan bin Uyainah berkata, "Tafakkur (berfikir) adalah kunci rahmat. Tidakkah kamu lihat seseorang berfikir lalu bertaubat."5

Al-Hasan berkata, "Kunci lautan adalah perahu-perahu. Kunci bumi adalah jalan-jalan. Sedangkan kunci langit adalah doa."6

Sahl bin Abdillah berkata, "Meninggalkan hawa nafsu adalah kunci surga, berdasarkan firman Allah ta'ala,

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)7."8

Sufyan berkata, "Dahulu dikatan, diam yang lama adalah kunci ibadah."9

Syaikhul Islam berkata, "Maka kejujuran adalah kunci segala kebaikan, sebagaimana dusta adalah kunci segala keburukan."10

Beliau juga berkata, "Doa adalah kunci segala kebaikan."11

Maka dengan memohon pertolongan kepada Allah, kita akan perinci sebagian dari kunci-kunci kebaikan tersebut, dengan harapan bisa memberi manfaat bagi kita semua.



1 Riwayat Abu Daud (no. 61) dan at-Tirmidzi (no. 3). Dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami' (no. 5885)

2 Al-Jawabul Kafi (hlm. 100)

3 Nukilan-nukilan berikut diambil dari risalah Syekh Abdurrazaq al-Badr yang berjudul Mafatihul Khair.

4 Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (4/251)

5 Diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh dalam al-Azhomah (no. 39)

6 Disebutkan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya (14/53)

7 Surat an-Naziat ayat 40-41.

8 Disebutkan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya (19/135)

9 Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam ash-Shomt (no. 136)

10 Al-Istiqomah (1/467)

11 Lihat Majmu' al-Fatawa (10/661)



TAUHID:

KUNCI SURGA



Kebaikan terpuncak bagi seseorang yang mengimani adanya kampung akhirat adalah menjadi penghuni negri keselamatan, kenikmatan dan kebahagiaan abadi. Dan negri inilah yang menjadi tujuan bagi berbagai pemeluk agama yang ada. Tidak hanya kaum muslimin yang menginginkan hidup di dalam surga, bahkan orang-orang Yahudi ataupun Nasrani mengklaim bahwa surga hanya layak ditempati oleh golongan mereka saja. Allah berfirman,

"Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, `Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani."

Akan tetapi, Allah langsung membantah mereka dengan firman-Nya dalam ayat yang sama,

"Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, `Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar." [al-Baqarah: 111]

Iya, dakwaan mereka langsung Allah bantah dan dinyatakan sebagai angan-angan yang kosong. Karena memang surga yang mereka klaim itu sesungguhnya memiliki kunci yang tidak mungkin dimiliki oleh orang yang hanya sekedar mengaku-aku tanpa bukti kepemilikan. Maka Allah pun memerintahkan agar mereka menunjukkan bukti bahwa mereka adalah benar-benar layak masuk surga.

Lalu pada aya berikutnya, Allah menjelaskan apa yang bisa menjadi bukti bahwa seseorang layak masuk surga. Allah berfirman,

"(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat ihsan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." [al-Baqarah: 112]

Syekh as-Sa'di menjelaskan ayat ini dengan berkata, "Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, maksudnya, barangsiapa mengikhlaskan (memurnikan) amalannya hanya untuk Allah, dengan mengarahkan hatinya hanya kepada-Nya. Sedang ia bersamaan dengan keikhlasannya itu, berbuat ihsan dalam beribadah kepada Rabbnya, yaitu dengan beribadah sesuai dengan syariat-Nya. Maka hanya mereka itulah orang-orang yang berhak menjadi penghuni surga."12

Sesungguhnya apa yang Allah sebutkan dalam ayat tersebut sebagai bukti seseorang akan masuk surga, tidak lain dan tidak bukan adalah implementasi dari kalimat tauhid laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah.

Kemudian, telah disebutkan dalam Shaih Muslim, dari hadits Umar bin al-Khatthab, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda,

"Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian dia mengucapkan `Asyhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadan abduhu wa rasuluhu' melainkan dibuka baginya pintu-pintu surga yang berjumlah delapan. Dia akan masuk dari pintu mana saja yang dia kehendaki."3

Syekh Abdurrazaq al-Badr – hafizhahullah – menegaskan, "Ini adalah dalil yang shahih lagi tegas menunjukkan bahwa pintu-pintu surga yang berjumlah delapan akan dibuka dengan tauhid, dibuka dengan syahadat laa ilaaha illallah. Adapun orang yang tidak melaksanakan tauhid, maka keadaan mereka sebagaimana yang Allah firmankan,"

"Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum." [al-A'raf: 40]14

Maka jelaslah bahwa kunci surga adalah tauhid, yaitu pelaksanaan kalimat syahadat laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah.

Dan harus kita ketahui bahwa kunci yang agung ini tidak akan memberikan manfaat jika hanya diucapkan saja tanpa pemenuhan hak-haknya. Betapa banyak kaum munafikin yang pada zaman Nabi SAW mengucapkan kalimat yang agung ini, namun karena mereka tidak memenuhi hak-haknya, mereka tetap tidak selamat dari siksaan neraka. Bahkan mereka berada di dasar neraka yang paling dalam. Sebagaimana firman Allah tentang mereka,

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka." [an-Nisa: 145]

Maka seorang muslim mukmin, yang ingin memiliki kunci ini dan mengambil manfaat darinya, dia harus memenuhi hak-hak dari kalimat ini. Dia harus memenuhi rukun dan syarat dari kalimat tauhid yang dia ucapkan.

Secara ringkas, rukun laa ilaaha illallah ada dua, pertama meniadakan adanya hak untuk diibadahi pada dzat selain Allah. Dan yang kedua adalah menetapkan dan melakukan peribadahan hanya kepada Allah. Sedangkan rukun syahadat Muhammad rasulullah, pertama mengakui bahwa beliau adalah manusia, hamba Allah yang tidak berhak diibadahi. Dan yang kedua menetapkan bahwa beliau adalah utusan Allah, sehingga beliau tidak boleh diremehkan dan dilecehkan, bahkan harus ditaati.

Adapun syarat laa ilaaha illallah, para ulama menyebutkan ada tujuh: ilmu yang meniadakan kebodohan, keyakinan yang menolak keragu-raguan, penerimaan yang meniadakan penolakan, ketundukan yang meniadakan pengabaian, ikhlas yang menolak kesyirikan, kejujuran yang meniadakan kedustaan, dan kecintaan yang menolak kebencian.

Sedangkan syarat syahadat Muhammad rasulullah adalah, mengakui dan meyakini kerasulan beliau secara lahir dan batin, meneladani beliau dengan cara mengamalkan kebenaran yang beliau bawa dan meninggalkan kebatilan yang beliau larang, membenarkan semua berita yang beliau sampaikan, mencintai beliau lebih dari kecintaan terhadap diri sendiri, harta, anak, orangtua, dan seluruh manusia, dan mendahulukan perkataan beliau atas perkataan setiap orang serta mengamalkan sunnah (tuntunan) beliau.15



12 Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, hlm. 63.

13 Shohih Muslim (no. 234)

14 Mafatihul Khair, hlm. 13

15 Tentang rukun dan syarat dua kalimat syahadat ini, telah dijelaskan oleh Syekh Shalilh al-Fauzan dalam Aqidatul Tauhid hlm. 40-45



SYUKUR:

KUNCI NIKMAT



Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti mendapatkan nikmat dari Allah. Akan tetapi sayang sekali, hanya sedikit dari mereka yang mau bersyukur kepada Allah atas nikmat ini. Padahal jika mereka bersyukur, kenikmatan yang ada akan bertambah berlipat-lipat, karena syukur adalah kunci pertambahan rezeki. Allah berfirman,

"Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih"." [Ibrahim: 7]

Jika seseorang memahami perkara yang agung ini, sungguh dia telah mendapatkan kunci yang sangat bermanfaat untuk memperoleh tambahan kebaikan-kebaikan. Karena semua kebaikan yang didapati seorang manusia pada hakikatnya hanyalah kenikmatan yang Allah berikan.

Rezeki yang didapati seorang hamba misalnya, Allah tidak akan memberi tambahan rezeki kepadanya kecuali jika dia mau bersyukur kepada Allah atas rezeki tersebut. Ilmu yang diperoleh seorang penuntut ilmu juga merupakan kenikmatan dari Allah.

Maka jika seorang penuntut ilmu mensyukuri Allah atas ilmu yang telah diperolehnya, niscaya Allah akan memberi tambahan ilmu kepadanya. Demikian juga dengan taufik atau hidayah keimanan yang merupakan nikmat terbesar kepada seorang hamba, akan Allah tambahkan dan tingkatkan keimanan seseorang, manakala dia mensyukurinya.

Dan tentu saja syukur yang dimaksud dilakukan dengan hati, lisan dan anggota badan. Dengan hati, kita mengakui bahwa semua kebaikan itu semata-mata pemberian dan anugrah dari Allah.

Jika ada seseorang yang menganggap bahwa dia mendapat nikmat itu karena memang dia berhak, atau karena kepandaian dan keuletannya, atau karena usahanya, maka ini merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah, seperti yang telah Allah sebutkan tentang keadaan Qarun.

Dengan lisan, seorang hamba mengucap syukur kepada-Nya, berterima kasih kepada-Nya dan juga disyariatkan baginya memperbincangkan kenikmatan yang Allah anugrahkan kepadanya, sebagai bentuk syukur kepada-Nya.

Adapun dengan anggota badan, maka dia mempergunakan nikmat yang Allah berikan itu dalam berbagai ketaatan yang disyariatkan. Misalnya, orang yang diberi kemudahan rezeki berupa harta, maka dia bersyukur dengan banyak bersedekah dan mempergunakan harta itu dalam ketaatan, tidak menghambur-hamburka nnya, dan tidak mempergunakannya dalam kemaksiatan. Orang yang diberi ilmu, maka dia amalkan ilmu tersebut, dan dia ajarkan kepada orang lain.



KEMULIAAN

ADA PADA KETAATAN



Kemuliaan hidup adalah salah satu perkara yang dicari manusia. Tidak ada seorang manusia pun yang menginginkan kehinaan dalam hidupnya. Hanya saja, timbangan kemuliaan mereka berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemahaman mereka terhadap hidup ini.

Dalam menyikapi perbedaan pandangan seperti ini, tentu sebagai seorang mukmin yang meyakini bahwa kehidupan ini berada di bawah kekuasaan tunggal Allah SWT, dia akan mengembalikannya kepada bagaimana sesungguhnya Allah memandang permasalahan ini. Karena Allah telah berfirman,

"Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya." [Fathir: 10]

Jika demikian, maka sesungguhnya Allah telah menyebutkan kunci kemuliaan dalam firman-Nya, "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu." [al-Hujurat: 13]

Jadi, kemuliaan sesungguhnya hanya ada pada ketakwaan. Yang mana ketakwaan ini terwujud dengan menaati Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, dengan melaksanakan perintah-perintah- Nya dan menjauhi larangan-laranganNy a. Sebagian orang ada yang mencari kemuliaan hidup dengan meniru-niru orang-orang barat yang mana sesungguhnya mereka adalah orang-orang kafir. Cara berpakaian, kebiasaan, akhlak, tingkah laku, gaya hidup sampai pada pemikiran pun mereka tidak bisa dibedakan.

Padahal merupakan salah satu bentuk ketakwaan dan ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya SAW, adalah tidak menyerupai orang-orang kafir dalam berbagai hal yang menjadi kekhususan mereka. Rasulullah SAW bersabda,

"Aku diutus di hadapan hari kiamat, dengan membawa pedang sampai hanya Allah semata yang diibadahi, tanpa sekutu bagi-Nya. Dan rizkiku telah dijadikan berada di bawah tombakku. Dan kehinaan serta kerendahan dijadikan bagi siapa saja yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka."16



16 Di-shahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 2831



KUNCI REZEKI

Terkadang, seorang manusia rela mengorbankan agama demi mendapatkan secuil rezeki. Mereka berdalih dengan perkataan yang sesungguhnya tidak pantas diucapkan, "mencari rezeki yang haram saja susah apa lagi yang halal."

Seandainya manusia meyakini bahwa rezeki telah ditetapkan oleh Allah, dan dia mengetahui kunci-kuncinya, niscaya dia akan sadar bahwa Allah sangat pemurah dalam membagi-bagi rezeki, dan sesungguhnya mencari rezeki yang halah jauh lebih mudah ketimbang rezeki yang haram.

Pada perkataan Ibnu Qayyim di atas, kita dapati beliau menjelaskan bahwa kunci rezeki adalah usaha yang dibarengi dengan istighfar dan takwa.

Usaha sebagai kunci rezeki tentunya telah jelas bagi setiap orang yang berakal sehat. Karena tatkala seseorang ingin mendapatkan rezeki berarti dia harus berusaha mengais rezeki. Namun yang menjadi focus seorang mukmin dalam berusaha adalah hendaknya usaha yang dilakukan masih dalam daerah usaha yang dibolehkan (halal).

Dan daerah ini sungguh sangat luas sekali, karena ada suatu ketentuan dalam masalah semacam ini, selama tidak ada larangan dari syariat maka usaha itu dibolehkan. Inilah yang menjadikan seorang mukmin berkeyakinan bahwa yang halal lebih mudah dari pada yang haram, karena usaha yang halal itu jauh lebih banyak dari pada yang haram.

Adapun istighfar sebagai kunci rezeki, maka bisa dipahami dari firman Allah SWT,

"Maka aku (Nabi Nuh) katakan kepada mereka, `Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampung, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai." [Nuh: 10-12]

Sedangkan takwa, secara tegas Allah telah menyatakan,

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." [ath-Thalaq: 2-3]

Maka kepada orang yang masih menganggap usaha haram lebih mudah dari usaha halal, kita katakan, bertakwalah dan tinggalkanlah usaha haram, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar dan rezeki yang tidak disangka-sangka.



KUNCI

KEHIDUPAN HATI



Hati manusia, tak ubahnya seperti jasad manusia, ada yang sehat, sakit dan ada pula yang mati. Akan tetapi, kesehatan hati jauh lebih penting jika dibandingkan dengan kesehatan badan. Hal ini karena kesehatan hati merupakan faktor utama kebaikan lahiriah seorang hamba. Rasulullah SAW telah bersabda,

"Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, niscaya akan baik seluruh tubuhnya, namun jika segumpal daging itu rusak, niscaya menjadi rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati." [Muttafaq `alaihi]

Maka perhatian seorang mukmin terhadap hatinya, tidak boleh ditempatkan pada posisi yang remeh. Jika hati itu telah mati, segala bentuk kebaikan dan kebenaran tidak akan bisa diterima oleh seseorang.

Di sinilah kita dituntut untuk mengetahui kunci kehidupan hati, jika kita ingin mendapatkan dan menerima kebaikan yang banyak.

Pada perkataan Ibnul Qayyim di atas, beliau telah menjelaskan bahwa kunci kehidupan hati adalah dengan mentadabburi al-Qur'an, merendahkan diri di akhir malam, dan meninggalkan dosa. Sungguh benar apa yang beliau katakan. Al-Qur'an adalah sumber kehidupan hati. Allah SWT berfirman,

"Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (al-Qur'an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami, dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus."

Syekh Abdurrahman as-Sa'di berkata, "Allah menamai al-Quran dengan ruh, karena dengan ruh jasad bisa hidup sedangkan al-Qur'an akan menghidupkan hati dan jiwa-jiwa. Dengan al-Qur'an, kamaslahatan dunia dan agama akan menjadi hidup, karena dalam al-Qur'an terdapat banyak kebaikan dan ilmu yang melimpah."17

Makanya, sebagai obat hati yang merasa gundah gelisah, Rasulullah SAW menganjurkan kita berdoa kepada Allah agar menjadikan al-Qur'an ini sebagai penyejuk hati dan cahaya bagi dada. Yaitu dengan doa,

"Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, akan hamba-Mu (Adam), dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubunku berada di tangan-Mu, hukum-Mu berlaku padaku, dan ketetapan-Mu adil pada diriku. Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang menjadi milik-Mu, yang Engkau menamai diri-Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu gaib yang ada di sisi-Mu, maka aku mohon dengan itu agar Engkau jadikan al-Qur'an sebagai penyejuk hatiku, cahaya bagi dadaku, pelipur kesedihanku, dan penghilang bagi kesusahanku."18

Begitu pula dengan menjauhi dosa-dosa, adalah salah satu sebab atau kunci hidupnya hati seorang hamba. Karena dosa adalah titik hitam yang mengotori hati manusia. Semakin banyak titik itu melekat dalam hati, maka akan menjadi tutupan kelam yang bisa mematikan hati manusia.



17 Taisirul Karimir Rahman, hlm. 762

18 Riwayat Ahmad dalam Musnad-nya.



ILMU:

KUNCI UTAMA



Setelah kita mengetahui sebagian dari kunci kebaikan di atas, maka di sana ada satu kunci utama sebagai pintu pertama untuk mendapatkan kunci-kunci tersebut.

Tidak lain kunci utama itu adalah ilmu. Karena dengan ilmu, seseorang akan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang mendatangkan cinta dan ridha Allah, dan mana yang akan membawa pada kemurkaan-Nya. Dan dimulai dengan ilmu, seseorang bisa melakukan berbagai amalan. Imam al-Bukhari berkata,

"Ilmu itu (harus ada) sebelum berkata dan beramal."

Dan Rasulullah SAW sendiri telah menegaskan bahwa orang yang dikehendaki baiknya oleh Allah, adalah orang yang diberi pemahaman ilmu agama. Beliau bersabda,

"Barangsiapa yang Allah kehendaki ada kebaikan padanya, niscaya akan Dia pahamkan orang itu dalam perkara agama." [Muttafaq `alahi]

Oleh karena itulah, Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya SAW untuk meminta tambahan berupa ilmu. Allah SWT berfirman,

"Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu." [Thaha: 114]

"Wahai Allah, berikanlah manfaat kepada kami dengan apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, dan ajarkanlah kepada kami apa yang bermanfaat bagi kami, dan berikanlah tambahan ilmu kepada kami."


-- kafe muslimah.com

Langkah Perjalanan Seorang Muslimah


Indah sekali perumpamaan yang diutarakan Syaikh Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqhul Aulawiyaat atau skala prioritas gerakan Islam jilid satu, ‘Bunga-bunga’ itu tidak tumbuh mekar selain karena laki-laki ingin selalu memaksakan kemauannya, juga karena akhwat muslimahnya yang tidak mau atau memiliki keberanian untuk melepaskan diri dari keterikatan tersebut.

Ya, seharusnya bunga-bunga itu tumbuh mekar dengan leluasa untuk turut mengharumkan jalan perjuangan yang suci ini. Akhwat seyogianya mulai berani memikirkan dan mengambil alih permasalahan-permasalahan mereka sendiri, membuka lahan-lahan dakwah dan amal serta menangkis dengan tegas suara-suara sumbang wanita-wanita feminis yang diselipkan ke dalam aqidah umat, nilai-nilai dan syariat-syariat Islam.

Dan suara-suara mereka cukup vokal, sekalipun hanya mewakili segelintir manusia yang tidak ada bobotnya di dunia apalagi dalam agama. Namun dalam kenyataannya menurut Yusuf Qardhawi pula, aktivitas dakwah Islam di bidang kewanitaan saat ini masih lemah. Hal tersebut nampak dari lemahnya kepemimpinan wanita untuk mampu berdiri sendiri menghadapi arus sekularisme, marxisme dan feminisme secara tangguh.

Kondisi tersebut boleh jadi disebabkan oleh dua kemungkinan, yang pertama ialah sikap ananiyah atau egoisme laki-laki yang selalu berusaha mendominasi, mengkomando, mengarahkan dan menguasai urusan akhwat. Mereka tidak memberi kesempatan dan peluang kepada para akhwat untuk membina bakat, keterampilan dan kemampuan untuk berjalan sendiri tanpa dominasi para rijal.

Penyebab kedua datangnya justru dari diri akhwat sendiri yang tidak memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang cukup serta kurang kuatnya kerja sama di kalangan mereka.

Padahal menurut Yusuf Qardhawi kepeloporan dan kejeniusan bukan hanya milik laki-laki saja. Bahkan dalam pengamatan beliau selaku dosen, mahasiswi-mahasiswi umumnya berprestasi akademik lebih baik dibanding mahasiswa-mahasiswanya karena lebih tekun. Sehingga selayaknya mereka bisa eksis bila mampu menunjukkan kepeloporan dan kepiawaiannya dalam bidang dakwah, ilmu pengetahuan, pendidikan, sastra dan lain sebagainya.

Satu hal yang kontras dengan semangat awal Islam yang memuliakan dan memberdayakan muslimah, ditemui Yusuf Qardhawi justru di zaman kiwari ini. Beliau mengkritik menyusupnya pemikiran ekstrim mengenai hubungan laki-laki dan wanita serta peranan wanita di tengah masyarakat. Aliran pemikiran ini mengambil pendapat yang paling keras sehingga mempersempit ruang gerak wanita. Sehingga dalam pertemuan beliau dengan akhwat di Manchester, Inggris dan di Aljazair, beliau mendapati kondisi tersebut bahwa akhwat dibatasi dalam mengikuti forum-forum diskusi yang luas dan bahkan sekadar untuk menjadi moderator di acara yang khusus untuk mereka pun masih dianggap harus digantikan laki-laki.

Padahal sejak permulaan lahirnya dakwah, gerakan Islam telah memberikan porsi bagi peranan wanita. Dan di sebuah gerakan dakwah Islam terkemuka seperti Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Mesir, ada seksi khusus wanita yang disebut Al Akhwat Al Muslimat.

Namun orang-orang yang berhaluan keras memakai dalil surat al Ahzab ayat 33, “waqarna fibuyuutikunna…” mereka berdalih, “kenapa kalian menuntut wanita agar memegang peran yang menonjol dalam gerakan Islam? Ikut bergerak dan memimpin serta menampakkan keberadaannya dalam gerbong amal islami, padahal mereka telah diperintahkan untuk tinggal di rumah-rumah mereka. ”

Sebagian ahli tafsir mengatakan ayat tersebut khusus berlaku untuk para istri Nabi karena kesucian dan keistimewaan mereka yang berbeda dari wanita-wanita lain pada umumnya. Sementara ahli tafsir yang lain mengatakan seandainya pun ayat tersebut ditujukan untuk para wanita pada umumnya, maka hal tersebut lebih merupakan arahan stressing keberadaan wanita yang harus lebih banyak di rumah. Namun tentu saja bukan berarti tidak boleh keluar rumah untuk menuntut ilmu, bermasyarakat dan mengerjakan kebajikan-kebajikan.

Tetapi kenyataan di lapangan atau di dunia realitas tidaklah sesederhana itu, terutama justru bagi akhwat yang sudah menikah. Mereka gamang dalam melangkah. Kadang ia sampai bertanya-tanya sendiri, “istri milik siapa sih?”
Karena selama ini ia tumbuh dalam tarbiyah dan medan harakah ia tidak bisa lagi tutup mata bersikap cuek, apatis atau masa bodoh dengan persoalan-persoalan umat Islam baik skala nasional maupun internasional.

Tantangan-tantangan eksternal umat Islam benar-benar membuatnya geram. Ia sadar benar adanya makar atau konspirasi internasional yang senantiasa menghadang umat Islam (QS. 8:30, 2:120, 2:109, 2:217, 3:118 dan 4:76). Ia pun paham, nubuat atau prediksi Rasulullah SAW bahwa akan tiba suatu masa di mana umat Islam akan menjadi mangsa empuk yang diperebutkan musuh-musuh Islam. Hal itu disebabkan karena umat Islam hanya unggul secara kuantitas tetapi minim dari segi kualitas sehingga membuat mereka tidak lagi disegani oleh musuh-musuh Islam. Ditambah lagi mereka mengidap penyakit wahn yakni cinta dunia dengan cinta yang berlebihan dan takut mati.

Berita-berita di media massa maupun tayangan berita di layar teve kerap membuatnya menangis dan sekaligus ingin memekik menyaksikan kezhaliman Israel Yahudi dan antek-anteknya yang kian merajalela di dunia Islam. Ia ingin berbuat…, ia ingin berdakwah…, ia ingin bergerak….

Namun apa daya persoalan internal yang dihadapi belum juga beres. Selama ini ia sudah bekerja keras menyeimbangkan tugasnya di dalam rumah tangga dengan aktivitas mengikuti ta’lim, mengisi ta’lim, mengikuti baksos untuk orang-orang yang terkena musibah banjir karena jika tidak sigap para missionaris begitu cekatan membantu dengan sekaligus paket pembaptisan. Tetapi rupanya sifat ananiyah (egoisme) dan sense of belonging (rasa kepemilikan) suaminya begitu besar. Tiba-tiba saja ia diminta menghentikan semua aktivitas amal shalehnya dan berdiam di rumah melayaninya dan anak-anak sebagai jalan pintas menuju surga, “Kamu tidak usah repot-repot ngurusin orang, sementara ada jalan pintas menuju surga dengan berbakti pada suami dan keluarga.” akhwat ini pun sebenarnya tak ingin membantah perkataan suaminya, karena ia juga tahu kebenaran tentang besarnya pahala berkhidmat di rumah tangga. Namun apa jadinya dengan sebuah dunia luar yang ingin ia sediakan sebagai bi’ah yang baik bagi anak-anaknya, generasi mendatang. Bukankah ia harus ikut juga berperan untuk itu. Apalagi selama ini ia meniatkan pernikahan adalah satu noktah dari garis perjuangan yang panjang, sehingga menikah harusnya justru akan meningkatkan perjuangannya. Kenyataannya?

Ia sering merasa sedih sementara ia dan banyak akhwat lainnya masih berkutat dengan urusan-urusan internal, para wanita feminis, marxis, liberalis dan missionaris begitu gegap gempita dengan kiprahnya. Mereka memang kecil, sedikit tetapi terorganisir rapi dan memiliki link atau jaringan internasional yang kuat.

Hal tersebut juga terungkap dari pengalaman langsung Yusuf Qardhawi saat berinteraksi dengan para akhwat di Mesir dan Aljazair. Ia banyak menemukan ukhti-ukhti daiyah atau akhwat daiyah yang gesit dan aktif di medan haraki sebelum menikah, tetapi setelah menikah dengan ikhwah yang juga dikenalnya melalui dakwah ia dilarang aktif atau tidak diridhai keluar rumah. Suami-suami seperti ini telah mematikan bara api yang semula menyala menerangi jalan bagi putri-putri Islam.

Sampai ada gadis aktivis dakwah di Aljazair yang menulis surat kepada beliau menanyakan apakah haram hukumnya bila ia melakukan mogok kawin karena takut bila menikah akan menyebabkannya tercabut dari jalan dakwah.

Beberapa akhwat yang pernah penulis temui seusai acara liqa’at ruhiyah akhwat di masjid Al Azhar Jakarta mengutarakan bahwa belakangan ini mereka semakin takwa saja. “Oh ya?”, tanya penulis, berharap itu bahwa dampak positif ikut pertemuan tersebut. “Iya mbak, makin takwa makin takut walimah. Habis takut dapat suami ikhwah yang picik sehingga kita tidak bisa merasakan lagi nikmatnya pertemuan-pertemuan seperti ini.” “Oooh…” gumam penulis, lalu beristighfar berulang kali.

Setiap akhwat insya Allah menyadari bahwa kewajiban terhadap suami dan anak-anak adalah tarikan fitrah yang memang berguna memagarinya agar tidak melesat keluar dari garis fitrahnya selaku istri dan ibu.

Tetapi haruskah hal itu dibenturkan dengan keinginan suci berjihad membela agama Allah? Bahkan Allah SWT berfirman dalam QS. at Taubah ayat 24, bahwa cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya harus diprioritaskan di atas segala-galanya termasuk di atas suami dan anak-anak.

Bagaimana halnya dengan wanita-wanita Afghanistan yang ditemui Zainab al Ghazali di barak-barak pengungsi di Pakistan saat invasi Uni Soviet dulu, mereka telah mempersembahkan segala-galanya, suami, anak-anak, harta dan tanah air mereka demi perjuangan tetapi mereka masih lagi bertanya, “Apa lagi yang bisa kami berikan, korbankan untuk jihad fisabilillah, ya Ibu?” Zainab al Ghazali menjawab dengan penuh rasa haru, “Ada…, kalian masih senantiasa memiliki cinta. Berikanlah cinta, simpati dan doa kalian untuk setiap mujahid yang berjuang di jalan Allah.” Subhanallah! Adakah yang salah dengan mereka, dengan obsesi-obsesi mereka yang luar biasa untuk habis-habisan di jalan Allah?

Belum lagi kisah-kisah indah yang terukir di periode awal Islam ketika Khansa mempersembahkan semua putranya sebagai syuhada di jalan Allah dan bersedih karena tak memiliki lagi putra yang akan dipersembahkannya di jalan Allah.

Begitu pula saling dukung di antara Ummu Sulaim dan abu Thalhah. Agar suaminya tak gundah dan menunda keberangkatannya untuk jihad di jalan Allah, Ummu Sulaim yang hamil tua pun ikut ke medan jihad.

Demikian juga Asma binti Abu Bakar yang sedang mengandung Abdullah bin Zubeir. Di saat hamil tua itu ia berjihad membantu proses hijrah yang sangat luar biasa beratnya. Zubeir bin Awwam sang suami ikut mendukung dan tidak protes, “Ah Asma, kamu tidak realistis, hamil tua seperti ini ikut dalam misi yang sangat berbahaya.”

System Islam yang tegak begitu mendukung kiprah perjuangan muslimah, ditambah team work dan dukungan yang baik di dalam keluarga inti dan dilengkapi pula dukungan sinergis dari komunitas yang ada saat itu. Di saat-saat perang, wanita dan anak-anak yang ikut dikumpulkan di satu tempat dan dikawal ketat oleh beberapa petugas. Dan muslimah-muslimah yang bertugas sebagai tenaga medis dan dapur umum dapat berjihad dengan tenang, sementara anak-anak mereka dijaga oleh wanita-wanita yang sedang tidak bertugas ke medan jihad.

Melihat kisah-kisah indah di atas, seharusnya tak ada ruang tersisa bagi keegoisan dan keapatisan dari ikhwah maupun akhwat.

Kisah-kisah tersebut mengajarkan pada kita dua tugas mulia yakni berbakti di dalam rumah tangga dan berjihad di jalan Allah bukan dua hal yang harus dibenturkan atau dipertentangkan satu sama lain. Dan kebajikan yang satu tak harus meliquidir kebajikan yang lainnya, melainkan menjadi sesuatu yang seiring sejalan secara sinergis.

Sehingga tak ada lagi cerita akhwat yang dipojokkan dan menjadi memiliki guilty feeling (perasaan bersalah), “Ah, dia terlalu aktif sih… jadi anak-anaknya tak terurus.” Atau, “Awas, lho…. Jangan aktif-aktif, nanti suaminya diambil orang.”

Ironis memang, sesama muslimah yang harusnya saling membantu dan mendukung malah memojokkan dan menakut-nakuti kaumnya sendiri yang aktif di medan haraki. Sementara wanita-wanita feminis, marxis, lebaris kompak bersatu menyebarkan kemungkaran.

Tetapi akhwat tak boleh menyerah. Ia memang tak perlu segera menyalahkan pihak-pihak lain yang kurang atau tidak mendukung. Lebih baik ia berpikir positif membangun citra diri akhwat muslimah yang baik, berjiddiyah menjaga keseimbangan dan memiliki kemampuan mengatur skala prioritas. Ia juga harus memiliki kondisi fisik, aqliyah dan ruhiyah yang prima karena ia bekerja di luar kelaziman wanita-wanita lain pada umumnya. Karena ia tidak egois, karena ia memikirkan umat, karena ia punya cita-cita mulia yakni menegakkan syariat Islam dan tentu saja …. karena ia ingin masuk surga dengan jihad di jalan-Nya.

Kisah-kisah indah dalam sirah memang perlu sebagai batu pijakan. Sejarah dapat menjadi sumber inspirasi dan ibrah. Tetapi kita tidak bisa berhenti hanya pada nostalgia-nostalgia kejayaan masa silam, seperti: “Enak ya di zaman Rasulullah wanita benar-benar dihargai dan diberi kesempatan ikut berkiprah dan berjuang. Senang ya, para wanitanya juga saling dukung…”

Secara waqi’, riil yang kini kita lihat dan hadapi adalah kondisi realitas kontemporer yang penuh dengan tantangan-tantangan global. Era globalisasi membuat the world has turned into a small village, dunia sudah berubah menjadi sebuah desa kecil. Laiknya sebuah desa kecil proses interaksi dan saling mempengaruhi terjadi begitu intensif, apalagi teknologi informasi yang berkembang pesat kadang membuat dunia Islam dibanjiri informasi seperti air bah yang juga membawa kotoran-kotoran. Tanpa proses filterisasi, bagaimana jadinya anak-anak kita, wajah generasi mendatang.

Dapatkah kita bersikap apatis pada lingkungan dan dunia luar? Sementara al insan ibnul bi’ah (manusia anak atau bentukan lingkungannya). Jika kita tidak ikut berjuang menghadirkan sebuah lingkungan yang kondusif bagi keimanan dan ketakwaan serta keshalihan anak-anak kita, bagaimana kelak pertanggungjawaban kita kelak di hadapan Allah SWT?

Bukankah Rasulullah pernah mengingatkan para orangtua, “Didiklah anakmu karena ia akan hidup di zaman yang berbeda dengan zamanmu”. Seorang wartawati muslimah yang menghadiri konferensi wanita sedunia yang diselenggarakan PBB tahun 1995 di Beijing mengatakan bahwa konferensi ini merupakan sebuah perang mahal (menghabiskan dana sekitar 68,7 milyar rupiah), besar (dihadiri 25.000 orang dari sekitar 170 negara) dan berbahaya walau tanpa senjata dan luka.

Karena selain menjadi ajang pertarungan kepentingan-kepentngan politik individu-individu dan negara-negara tertentu, serta konflik berkepanjangan antara negara-negara maju (utara) dan negara-negara berkembang (selatan), juga menjadi sarana bagi para penganut paham everything goes (permisivisme) untuk meluluhlantakkan nilai-nilai suci kehidupan perkawinan dan keluarga.

Mereka menghendaki pasangan-pasangan lesbi ataupun gay juga diakui bentuk keluarga yang normal dan sah karena kebebasan orientasi seksual (apakah hetero atau homo) adalah hak asasi. Mereka juga menghendaki legalisasi aborsi dan pendidikan seks yang independen tanpa campur tangan orang tua bagi remaja.

Melihat begitu berat dan kompleksnya tantangan zaman saat ini, dimana akhwat? Haruskah ia tinggal diam, aman dan suci di rumahnya yang indah dan nyaman sementara dunia terus menjadi bobrok dan mengalami proses pembusukan?

Bukankah seharusnya kita takut jika berhenti menjadi wanita shalihah belaka tetapi tidak mushlihah yang melakukan ishlahul ummah. Karena pernah ada satu negri yang akan dihancurkan Allah seperti yang ada dalam QS. 7:4-5, malaikat berucap bahwa masih ada satu orang shalih yang berdzikir, Allah SWT tetap menyuruh negri itu dihancurkan dan justru dimulai dari orang yang shalih tersebut.

Hendaknya kita juga mawas diri terhhadap firman Allah QS. 25:30 bahwa kita harus takut terhadap bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja. Jika kita bersikap pasif dan defensif dalam melihat kemungkinan-kemungkinan di depan mata, kita (seperti dikatakan dalam sebuah hadits) seperti berada di sebuah kapal besar dan berdiam diri melihat orang-orang sibuk melubangi kapal tersebut sehingga akhirnya kita ikut karam bersama kapal tersebut.

Akankah kita terus tinggal diam karena sibuk berkutat dengan urusan keluarga dan dalam negeri yang tak pernah selesai? Percayalah bahwa Allah akan menolong semua urusan kita termasuk keluarga kita jika kita menolong agama Allah (QS. 47:7) karena keberkahan, khairu katsir (kebaikan yang banyak) akan senantiasa melingkupi perjalanan hidup seorang akhwat.


Bookmark and Share

Pohon iman


Keimanan yang kokoh menjadi perisai bagi setiap muslim. Dan hal ini hendaknya menjadi sebuah kelaziman. Sehingga keimanan itu betul-betul bak perisai kuat untuk menahan lajunya serangan musuh yang senantiasa datang silih berganti. Perisai ini wajib selalu berada di tangan setiap muslim. Ia tak boleh lepas sekejappun. Apalagi hilang, tak berketentuan arah.

Keimanan yang diumpamakan perisai itu berawal dari kekuatan tauhid yang tertanam dalam sanubarinya. Tauhid yang kuat dan bersih dari berbagai penyimpang. Ia diasaskan dari kalimat yang baik (kalimatun thayyibah) yang terikat dalam jiwanya. Kalimat yang baik dari kekuatan tauhid ini lantaran persaksian dan komitmen loyalitasnya pada Sang Maha Perkasa.

‘Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25).

Pohon ini tiada duanya di muka bumi ini. Ia tumbuh subur dan berkembang pesat dan mampu melawan serangan hama dan penyakit. Sehingga ia menghasilkan buah yang tak pernah henti. Malah menumbuhkan pohon-pohon lainnya. Itulah pohon keimanan.

Disebut Syajaratul Iman (Pohon Keimanan) lantaran keimanan yang kokoh laksana sebuah pohon yang selalu memberikan manfaat yang amat banyak. Buahnya dapat dikonsumsi oleh setiap makhluk yang menginginkannya. Dahannya dapat menjadi sarang serta tempat bertengger burung-burung. Daunnya yang lebat menjadi tempat berteduh musafir yang lewat dan akarnya menyimpan persediaan air untuk bumi yang tandus. Inilah pohon keimanan yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim Al Jauziyah.

Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Allah swt. menyerupakan pohon iman yang bersemi dalam hati dengan pohon yang baik. Akarnya menghunjam ke bumi dengan kokoh dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Pohon itu terus menerus mengeluarkan buah setiap musim. Jika engkau renungkan perumpamaan ini tentulah engkau menjumpainya cocok dengan pohon iman yang telah mengakar kokoh ke dalam di dalam hatinya. Sedang cabangnya berupa amal-amal shalih yang menjulang ke langit. Pohon itu terus menerus mengeluarkan hasilnya berupa amal shalih di setiap saat menurut kadar kekokohannya di dalam hati. Kecintaan, keikhlasan dalam beramal, pengetahuan tentang hakikat serta penjagaan hati terhadap hak-haknya.”

Di antara para ulama penafsir Al-Qur’an, mereka berpandangan bahwa yang dimaksud dengan pohon yang baik itu adalah pohon kurma. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits riwayat Ibnu Umar r.a. Dalam kitab shahih Ar Rabi’ Ibnu Anas mengatakan bahwa orang mukmin itu pokok amalnya menghunjam ke bumi sedang buah amalnya menuju langit lantaran keikhlasannya dalam beramal. Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidak ada perbedaan di antara ke dua pendapat itu karena makna yang dimaksud tamsil ini adalah sosok orang mukmin sejati. Sedang pohon kurma adalah sebagai gambaran yang menyerupainya dan dari diri orang mukminlah sebagai sosok yang diserupakannya.”

Pohon-pohon keimanan ini tumbuh dan berkembang bahkan menumbuhkan pohon lainnya. Syaikh Muhammad Ahmad Ar Rasyid dalam kitabnya Ar Raqa’iq menggambarkan bahwa pohon-pohon itu bak laksana kumpulan tanaman taman nan indah. Setiap orang yang melihat pasti ingin berteduh di dalamnya. Setiap melihat buah mesti tangan ingin menjamahnya. Pokoknya taman itu amat menarik hati. Pohon-pohon yang tumbuh di taman nan menawan itu adalah:

1. Syajaratut Tha’ah (Pohon Ketaatan)

Dari tempat kamu berteduh di bawah pohon iman itu kamu dapat mencium aroma wewangian bunga yang semerbak di dekatnya. Itu bersumber dari sebuah pohon yang disebut sajaratut tha’ah, yakni pohon ketaatan. Ia menjadi saksi terhadap keridhaan Allah saat dilimpahkan di hari turunnya ayat berikut:

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Al-Fath: 18)

Orang yang berteduh di masa sekarang akan senantiasa mendapatkan ketenangan hati dan tidak mudah goyah karena faktor terhalangnya mendapatkan sesuatu atau tertinggal olehnya. Ia tetap tabah menunggu kemenangan yang akan diraihnya. Ia juga berada dalam arus gerakan Islam untuk selalu menunaikan tugas-tugas dan tanggung jawabnya. Ia setia dengan beban yang terpikul di pundaknya. Dengan sikap itu ia mampu meruntuhkan mercusuar kesesatan. Sedang ia telah menyatakan janji setia kepada Islam untuk mati sebagai tebusannya. Pohon ketaatan ini bersumber pada akar pengabdian yang utuh pada Sang Maha Pencipta. Sudah semestinya pohon ketaatan itu tumbuh subur di hati setiap muslim.

2. Syajaratut Tirhab (Pohon Penyambutan)

Pohon ini dinamakan pohon penyambutan. Ini untuk menyambut mereka-mereka yang sedang berjuang untuk mempertaruhkan hidupnya agar meraih kemuliaan di sisi Rabbnya. Jika Allah memilih untuk menimpakan musibah kepadamu sebagai jalan untuk meraih anugerah keridhaan-Nya. Dan kamu pun mengalami cobaan berat hingga memaksamu berlindung di bawah Syajaratut Tirhab, pohon penyambutan. Ini dilakukan untuk mencari ketenangan di bawah naungannya seraya menggerakkan pokoknya agar melimpahkan sebahagian dari berkahnya kepadamu. Dan engkau melakukan sikap sebagaimana yang dilakukan Ibunda Maryam a.s. Ketika bumi terasa sempit olehnya. Maka terdengarlah suara yang menyeru kepadanya:

“Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (Maryam: 25-26)

Maka engkau mendapat makan dari buahnya yang telah masak dengan rasa puas tanpa berlebihan. Di sana engkau beroleh minuman yang segar dari sungai kecil yang mengalir di hadapanmu dengan mencidukkan kedua tanganmu kepadanya tanpa harus bersusah payah. Pohon ini berdiri pada pokoknya yakni kecintaan untuk menghariba kepada Rabbul Izzati. Dengan penuh ketaqwaan dan keyakinan akan perjumpaannya. Bagi seorang muslim sejati mendekatkan diri untuk menghariba kepada Allah swt. menjadi keharusan. Agar ia senantiasa dalam kondisinya yang prima. Tidak lapar dan tidak pula kehausan. Ia dapat memenuhi hak dan kebutuhan hidupnya dalam memperjuangkan ajaran-Nya.

3. Syajaratul Wafa’ (Pohon Kesetiaan)

Kesetiaan adalah tanda kecintaan. Dan kecintaan merupakan prasyarat dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan kecintaannya. Nabi Muhammad saw. mempunyai tanaman sendiri sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits, bahwa banyak pohon yang menyaksikan beberapa peristiwa dari perjalanan hidupnya yang mulia. Sebagai isyarat yang menunjukkan adanya hubungan ini. Terkadang sebagai gambaran untuk menyadarkan orang yang lalai. Di antaranya adalah syajaratul wafa’, pohon kesetiaan. Sebagai tanda adanya komunikasi di antara ruh-ruh yang selalu ingat. Pohon ini dapat mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan kepada yang berhak menerimanya serta mengakui kebaikan yang diberikannya.

Ia adalah batang pohon kurma yang merintih saat ditingalkan. Jabir bin Abdullah r.a. meriwayatkan, “Dahulu ada sebatang pohon kurma yang digunakan oleh Nabi saw. untuk pijakan tempat berdirinya. Setelah dibuatkan mimbar untuk Nabi, kami mendengar dari batang kurma itu suara rintihan seperti rintihan unta yang sedang hamil besar. Hingga Nabi saw. turun dari mimbarnya lalu meletakkan tangannya pada batang itu barulah batang pohon itu diam.”

Batang pohon itu mengeluarkan suara rintihan seperti rintihan unta betina hamil besar. Peristiwa ini merupakan salah satu mukjizat Nabi saw. Sebatang pohon yang diberikan penghormatan kepadanya lalu ia membalasnya. Manakala ditinggalkan, ia merasa sedih sehingga kesedihannya itu melahirkan suara rintihan. Sekarang tiada seorangpun di antara kita melainkan di rumahnya terdapat kitab hadits. Seakan-akan Nabi saw. berdiri di hadapannya mengajarkan urusan agama dan mengajarinya hukum-hukum syariat Islam. Maka sudah selayaknya bagi manusia seperti kita berterima kasih dan membalasinya dengan ketaatan dan kesetiaan pada ajaran yang dibawanya.

Kita telah mendapatkan pelajaran yang amat bagus dari sebatang pohon kurma. Maka kita sebenarnya yang amat patut melakukan hal itu dan menterjemahkannya dalam sikap kita terhadap dakwah dan ajaran ini. Sepatutnya kita pun para muslim merintih karena tidak dapat berbuat banyak untuk memberikan kontribusi untuk kejayaan Islam sebagaimana orang-orang yang disebutkan Allah swt. dalam kitab-Nya. “Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”, lalu mereka kembali, sedang mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (At-Taubah: 92)

4. Syajaratut Tsabat (Pohon Keteguhan)

Keteguhan menjadi hal yang amat urgen dalam mengemban amanah mulia. Karena godaan dan rintangan akan selalu dating silih berganti. Karena itu bagi seorang muslim sejati ia amat memerlukan pohon keteguhan. Engkau dapat berlindung dibawahnya di hari manusia berpecah belah karena kecenderungannya yang berbeda-beda. Engkau mencari selamat dengan meninggalkan semua golongan yang berpecah belah itu. ‘Sekalipun engkau harus menggigit akar pohon (yakni berpegang teguh pada prinsip meskipun hidup menderita).”

Oleh karena itu berlindunglah pada pohon keteguhan ini untuk menggeraskan gigitannya. Seandainya engkau bayangkan keadaan yang sebenarnya tentulah hatimu menjadi ragu dan bergetar penuh kecemasan. Antara perasaan takut bila pegangannya mengendur lalu terbawa arus dan harapan untuk tetap bertahan demi mencapai keselamatan.

Akantetapi saripati cairan yang dikeluarkan oleh pohon itu membuat kamu segar karena mendapat minuman darinya. Sedang manusia saat itu menjulurkan lidahnya karena kehausan. Tenggorokanmu basah lagi sejuk, sehingga menambah keras gigitanmu terhadapnya, seakan-akan kamu menghisap keteguhan dan kekokohan darinya bagaikan bayi lapar yang sedang menyusu. Pohon keteguhan ini juga menjadi alat Bantu untuk menghadapi cobaan dan ujian komitmen dari berbagai rayuan dunia yang memikat. Dari pohon itu seorang muslim tidak akan goyah karena daya tarik material duniawi yang fana.

Ia tidak seperti orang-orang yang lalai dari kesetiaannya karena tergoda oleh ikan-ikan yang bermunculan pada saat mereka harus menunaikan komitmen itu. “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada disekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Al-A’raf: 163)

5. Syajaratul Unsi (Pohon Penghibur)

Pohon ini menjadi penghiburmu di saat kamu sendirian dan kelembabannya meringankan (membasahi) keringnya kesalahanmu. Pohon ini ditanam oleh Nabi saw. Saat beliau melalui dua kuburan yang sedang diadzab. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits Nabi saw. Beliau mengambil sebatang pelepah kurma yang masih basah. Dan membelahnya menjadi dua bagian lalu menancapkan kepada masing-masing dari kedua kuburan itu satu bagian. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau lakukan itu?” Rasulullah saw. menjawab, “Mudah-mudahan adzab diringankan dari keduanya selama kedua pelepah ini belum mengering.”

Buraidah Al Aslami r.a. memahami hal itu sebagai tuntutan yang dianjurkan. Oleh karena itu ia berwasiat agar ditancapkan di atas kuburannya nanti dua batang pelepah kurma. Orang-orang pun mengikuti jejaknya dalam hal ini.

Ada kalanya kita tidak dapat terlepas dari dosa-dosa kecil yang mencemari keikhlasan amal kita atau dari keterpaksaan mengejar sisa-sisa yang ada di tangan ahli dunia dari harta yang memperdayakannya. Yang biasa dibarengi dengan begadang yang merusak kesehatan dan dirundung oleh kegelisahan yang membuat diri kita tidak dapat tidur. Sehingga tubuh ini menjadi lemah untuk persiapan kerja di pagi hari. Barangkali dengan meluangkan waktu sejenak untuk berteduh di bawah pohon ini agar dapat meringankan beban hidupmu.

Tentu hiburan bagi seorang muslim sejati bukanlah dengan lantunan nasyid-nasyid dengan iringan bunyi musiknya atau juga bukan dengan tontonan yang melalaikannya. Akan tetapi hiburannya melalui dengan mengenang sejarah kehidupan umat terdahulu yang diabadikan kebaikannya serta mengingat akan janji balasan yang akan diberikan Allah swt. pada orang-orang yang beriman. Sehingga dapat menggambarkan kenangan indah di hatinya akan kehidupan orang-orang yang telah berada di negeri cahaya yang penuh berkah.

6. Syajaratul Mufashalah (Pohon Pemisahan)

Pohon pemisahan ini menjadi saksi tentang sempurnanya akan kebersihan sarana yang digunakan oleh seorang muslim dalam mencapai tujuannya yang bersih. Demikian itu terjadi ketika ada seorang musyrik yang ingin bergabung memberikan bala bantuan kepada pasukan kaum muslimin dalam perjalanannya menuju medan Perang Badar. Orang musyrik itu memberikan bala bantuan atas dasar fanatisme golongan untuk membela kaumnya. Ketika pasukan kaum muslimin sampai di sebuah pohon besar yang menjadi rambu jalan sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah r.a.. Lalu orang musyrik itu hendak bergabung. Maka Nabi menoleh kepadanya dan mengatakan, “Kembalilah kamu, aku tidak meminta bantuan dari orang musyrik.”

Maka ketetapan ini terus berlaku sebagai prinsip yang tidak pernah ada pengecualiannya. Kecuali hanya dalam kejadian-kejadian yang terbatas dan langka. Oleh karena itu prinsip ini tetap menjadi pijakan dalam amal dakwah kita agar tidak mengemis meminta-minta balas bantuan dari orang yang memusuhi dakwah. Apalagi potensi yang dimiliki umat masih melimpah ruah untuk didayagunakan.

7. Syajaratul Istighfar (Pohon Meminta Ampunan)

Pohon istighfar berupa pohon anggur yang banyak buahnya. Apabila ada seorang tamu yang mampir ke rumah pemiliknya, maka ia akan memetik setangkai buah itu lalu disodorkan kepadanya untuk mencicipinya. Setelah itu tentu sesorang yang bertandang itu akan merasakan kepuasan yang teramat sangat. Kemudian pada hari yang lain. Isteri pemilik kebun anggur itu mengatakan kepada suaminya, “Cara seperti itu tidak etis kepada tamu, sebaiknya engkau ikut memakan separuh jamuanmu guna menyenangkan hatinya dan sekaligus sebagai penghormatan padanya.”

Suaminnya menjawab, “Besok aku akan lakukan hal itu.” Keesokan harinya, setelah tamunya memakan separuh hidangan yang disajikan kepadanya, lalu lelaki pemilik kebun itu ikut serta memakannya. Tatkala ia mencicipinya terasa anggur itu masam dan tidak enak untuk dimakannya, ia pun meludahkannya dan mengernyitkan kedua alisnya keheranan atas kesabaran tamunya yang mau merasakan buah seperti itu. Namun tamu itupun menjawabnya, “Sesungguhnya aku telah memakan buah ini dari tanganmu sebelumnya selama beberapa hari dengan rasa manis, tetapi sekarang ini aku tidak suka memperlihatkan kepadamu rasa tidak enak pada buah ini sehingga membuatmu menyesali pemberianmu yang lalu.”

Apa yang disebutkan di atas ini bukanlah kisah ngawur melainkan sebagai tamsil perumpamaan yyang dibuat untuk para muslimin yang ingin Islam jaya di muka bumi ini. Karena itu dengarkanlah baik-baik. Hal ini merupakan ungkapan kisah yang dijabarkan kepadamu untuk mendekatkan kepahamanmu kepadanya agar mudah kamu cerna.

Tidak seorangpun di antara orang-orang yang ada disekitarmu yang terpelihara dari kesalahan dan benar selalu adanya. Oleh karena itu jika ada saudaramu yang berbuat kekeliruan, maka janganlah kekeliruannya itu mendorongmu untuk mendiamkannya tidak mau bergaul lagi dengannya. Tidak sabar terhadapnya atau mendiskreditkannya. Bahkan jangan pula kamu mencelanya, melainkan bersabarlah kepadanya.

Dan tahanlah emosimu. Dan kamu harus memaafkannya dalam hatimu karena mengingat kebaikannya yang terdahulu dan perilakunya yang baik dan penghormatannya kepadamu. Karena barangkali dia dapat membantumu untuk bertaubat atau menolongmu saat kamu belajar sebagai pelayan pendamping atau teman begadangmu atau dia mengajarkan kepadamu suatu bidang pengetahuan yang diajarkan Allah kepadanya dan hal-hal baru yang belum kamu ketahui.

8. Syajaratuz Zuhud (Pohon Zuhud)

Jika engkau telah beroleh faedah dan menebarkan keadilan, maka sudah saatnya bagimu untuk membaringkan diri di bawah sebuah pohon yang ramping lagi banyak buahnya dan bunganya. Keindahannya memukau pandangan orang yang melihatnya dan membuat orang yang menikmati keindahannya berdecak kagum karena selera penanamnya begitu tinggi.

Itulah pohon zuhud. Yaitu pohon yang bersemi di dalam hati. Jenisnya lain dari yang lain. Belum pernah ada seorang pun yang menanam hal yang semisal itu sehingga terlihat sangat indah. Penanamannya menggambarkan pohon itu bagai syair berikut:

Zuhud telah menanamkan pohon dalam kalbuku

Sesudah membersihkannya dari bebatuan dengan susah payah

Dia menyiraminya sesudah menancapkannya ke bumi dengan air mata yang dialirkan

Manakala di melihat burung-burung perusak tanaman terbang mengelilingi pagarnya

Dia mengusirnya

Aku tidur di bawah naungan yang rindang dengan hati yang senang

Dan mengusir semua yang mengganggunya

Kemudian aku berjanji setia kepada Tuhanku

Seperti itulah Bai’atur Ridwan dilakukan di bawah pohon untuk memberikan janji setia. Rasakanlah kamu menjadi salah seorang di antara mereka yang melakukan hal itu. Dan kamu bersama di tengah-tengah mereka. Dirimu dipenuhi oleh semangat bai’at janji setia sampai mati di jalan Allah swt. demi membela ajaran ini tegak di muka bumi.

9. Syajaratul Hilm (Pohon Penyantun)

Seharusnya setiap mukmin telah memahami seni menanam pohon keimanan dan telah menanamkan pohon Kesantunan dalam dirinya. Jadilah diri Anda seperti pohon yang berbuah. Manusia melemparinya dengan batu sedang Anda melempari mereka dengan buahnya.

Sesungguhnya itu gambaran yang baik. Karena sesungguhnya kebanyakan manusia cepat cenderung kepada kejahilan sehingga mendorong mereka untuk mendustakan para penyeru kebaikan dan menyakiti mereka dengan cara batil. Seandainya seorang dai bersikap jahil seperti orang jahil itu dan membalas keburukan dengan keburukan semisal, niscaya akan lenyap dan pudarlah nilai-nilai kebajikan itu. Sebenarnya sikap yang harus diambil seorang dai adalah berlapang dada, mengharapkan pahala Allah dan memohon ampunan bagi kaum yang tidak mengerti itu.

Syaikh Muhammad Ahmad Ar Rasyid menandaskan bahwa pohon keimanan itu mesti diberi pupuk dan disiraminya di setiap waktu. Dirawatnya dengan baik agar tidak dimakan hewan yang mendatanginya atau dihinggapi hama penyakit. Ia pun perlu diselamatkan dari tangan jahil manusia yang sering usil untuk memetik buahnya sebelum masanya. Ia perlu penjaganan yang ekstra agar pohon-pohon itu memberikan buahnya bagi dakwah ini. Itulah Tsamaratud Da’wah (Buah Dakwah). Yakni kader-kader dakwah yang militan yang menyediakan dirinya untuk melayani dakwah ini dan berkhidmat terus demi tegaknya ajaran ini.

Bila pertumbuhan kader ini terus tumbuh dari berbagai segmen dan usia secara seimbang, maka dakwah ini akan mengalami tingkat produktivitas yang amat tinggi. Intajiyatud Da’wah (Produktivitas Dakwah). Dengan begitu mewujudkan misi utama dakwah ini untuk mencapai perubahan nilai dan norma akan semakin terealisasikan. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya’: 107). “Dan peranglah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Al-Anfal: 39)

sumber: dakwatunna.com

Antara Dua Cinta




Apa yang ada jarang disyukuri
Apa yang tiada sering dirisaukan
Nikmat yang dikecap baru kan terasa bila hilang
Apa yang diburu timbul rasa jemu
Bila sudah di dalam genggaman

Dunia ibarat air laut
Diminum hanya menambah haus
Nafsu bagaikan fatamorgana
Di padang pasir

Panas yang membahang disangka air
Dunia dan nafsu bagai bayang-bayang
Dilihat ada ditangkap hilang

Tuhan.. leraikanlah dunia
Yang mendiam di dalam hatiku
Kerana di situ tidak ku mampu
Mengumpul dua cinta
Hanya cintaMu ku harap tumbuh
Dibajai bangkai dunia yang kubunuh

---Nasyid Raihan---

Ini Tentang Pilihan


Kalam Allah itu teramat tinggi..luas..dan besar. Hingga alam semesta pun tak sanggup menopangnya.

Sinar bulan bisa purnama, namun akhirnya akan redup juga..
Begitupun matahari, ia bisa begitu terik namun kalanya datang ia akan petang juga..
Hujan yang lebat, tiba waktunya ia akan reda..
Dedaunan yang hijau segar, masanya menyapa ia akan layu dan lapuk jua..

Kulihat gunung-gunung luluh lantak oleh guncangan bumi.
Kulihat lautan, gelombangnya mengulung-gulung kala bumi mengguncang dasarnya
Kulihat langit menderu-deru, kala rintik hujan ingin membuncah menjadi badai

Kulihat api berkobar-kobar kala berteman angin dan material bumi
Kulihat air bisa meporak-porandakan kota dan isinya
Kulihat pula angin mampu merobohkan tiang-tiang beton

Sebenarnya ingin mengatakan apa?
Entahlah..

Firman Allah swt “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”

Surah al-ahzab, Allah turunkan tanpa pujian namanya “bismillahirrahmanirrahiim” ayat 72 dari 73 ayat.

Ketika mengulang kembali ayat tersebut saya jadi terpaku pada kalimat terakhir “inna kaana zhaalumaan jahuullann” Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
“inna” saya jadi bertanya-tanya mengapa Allah menekankan kalimat ini?

Syekh Amru Khalid dalam karyanya pesona Al-Qur’an mengemukakan bahwa ayat ini mengandung makna yang dalam. Menurut beliau dalam ayat ini terkandung makna penyerahan diri kepada Allah. Menurut penuturan beliau pula bahwa penyerahan diri kepada Allah itu ada 2 macam. Yang pertama: menyerah kepada Allah secara suka rela dan dengan didasari kebebasan untuk memilih, dan yang kedua: menjadi Abdi-NYA tanpa didasari kebebasan memilih.

Subhanallah
Wa Alhamdulillah
Wa laa illahaillah
Wa allahu akbar

Langit yang di dalamnya ada bulan, matahari dan bintang-bintang dengan sinarnya
Bumi yang merendah laksana ketundukan
Gunung-gunung menjulang laksana tengadah murakabah
Nyatalah mereka ada pada pilihan kedua dari ketundukan kepada Allah, yaitu menjadi abdi Allah tanpa didasari kebebasan memilih, maka ketika Allah berkendak angin menjadi topan, air menjadi bah, gunung meletus dan bumi berguncang dengan keras adalah bentuk ketundukan sempurna mereka kepada Allah. Tak ada pengingkaran.
Dedaunan layu jatuh ketanah, matahari yang harus terbenam dikala petang, bulan yang harus redup kala purnama telah berlalu. Itulah ketundukan mereka. Tanpa bantahan. Tanpa keluhan. Dan tanpa pilihan.

Subhanallah
Wa Alhamdulillah
Wa laa illahaillah
Wa allahu akbar

Lalu bagaimana dengan makhluk bernama MANUSIA (itulah diriku)?
Bekalan dalam dirinya berupa jasad, ruh dan akal, menjadikan ia begitu berbeda dengan makhluk yang lainnya(QS. At-Tin:4). Dan jelas pada surah al-ahzab 72 bahwa manusia menerima amanah dari Allah dengan penyerahan diri kepada Allah dengan suka rela dan didasari kebesan memilih. Hal ini pun Allah pertegas dalam surah al-Balad ayat sepuluh yang bunyi terjemahannya “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan”.

Berfirman pula Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 21-22,” Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”

“Yaa ayyuhaannaasu’buduurabbakum…” ini bukan permintaan Allah…
Tapi ini adalah kebebasan kita untuk memilih sebagai hambaNya yang IA lebihkan dari makhluknNya yang lain. Bahkan dengan segala rahmadNya ia paparkan kelebihan-kelebihan ataupun kekurangan-kekurangan tiap hal-hal yang jadi pilihan kita.

Kemudian Allah perjelas pula kebebasan memilih itu dalam surah al-Kahfi 29 “Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; MAKA BARANGSIAPA YANG INGIN (BERIMAN) HENDAKLAH IA BERIMAN, DAN BARANGSIAPA YANG INGIN (KAFIR) BIARLAH IA KAFIR……….."

Ini tentang pilihan….
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS Insan:3)

Bodohkah manusia (saya) itu?(!?)
“inna kaana zhaalumaan jahuullann” Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. Kata syekh Amru Khalid dibuku yang sama bahwa ayat ini tidak dapat diartikan bahwa manusia itu zhalim dan bodoh karena dia berani menanngung amanat dari Allah…

Yang perlu dilihat adalah apakah manusia setelah menerima amanah itu ia berserah diri pada Allah??

Sekali lagi ini adalah pilihan…

Laa ilahailallah
***
Merefleksi diri di Milad yang ke 22 th..

Tentang pilihan untuk memilih menjadi yang terpilih dari Yang Maha Terpilih

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang menguasai di Hari Pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Ya Allah..
Alangkah hina hamba di atas sumpahMu atas ciptaanMu
“wa asri, wadhdhuhaa, wallaili, walfajri”
Dan telah sampai kepada hamba firmanMu
“Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Yang saling nasihat mensihati dalam kebaikan dan saling nasihat-menasihati dalam kesabaran”

Ya Allah
Jadikanlah hamba abdiMu yang beriman dan mengerjakan kebaikan, dan jadikanlah hamba abdiMU yang dalam bermuamalah saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran..

Wahai Rabb semesta alam
Telah sampai kalamMu melalui Rasul Muhammad SAW, bersabda ia “Tiadalah tiadalah tergelincir kedua telak kaki seorang hamba di hari kiamat sehingga ditanya tentang empat hal, yaitu tentang umurnya dimana ia habiskan, tentang masa mudanya dimana ia binasakan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan belanjakan, dan tentang ilmunya bagaimana ia mengamalkannya”
Maka Yaa Allah yang tiada Tuhan selain Engkau dan Tiada tempat meminta selain Engkau..Mohon berikanlah keberkahan pada umurku, pilihkan untuk hamba pijakan yang kokoh untuk menghabiskannya dalam amar ma’ruf nahi mungkin,,,jadikan Ya Allah masa muda hamba senantiasa dalam rahmadMU, yang masa itu binasa(habis) hanya untuk muraqobah padaMU hingga tiap ayunan langkahku dan tarikan nafasku adalah tuntunan dariMu atas kehendakMU dan atas pilihanMu untukku. Rabbi izzati..kemuliaan dan kesempurnaan adalah milikmu tunjukilah hamba jalan yang lurus dan engkau ridha-I untuk mendapatkan harta dan yang belanjanya hanya di jalanMu dan mohon karuniakanlah hamba ilmu dan dengannya ya Allah Yang Maha Mengetahui mohon perjalankanlah hidup hamba untuk mengamalkan dalam rangka dakwah fi Sabilillah.

Yaa Allah yang tiada pernah salah apa yang engkau kehendaki..
Sesengguhnya hamba adalah makhluk yang lemah,,fakir dan papah
Engkau yang maha memiliki dan maha memberi
Rabbi..sesungguhnya hamba memilih untuk engkau pilihkan yang terpilih mana yang terbaik untuk hamba, karena hamba tiada berhenti berharap dan meminta kepada Engkau agar hamba menjadi abdiMu yang terpilih untuk mendapatkan yang terpilih dari yang Engkau Pilihkan.

Rabbana aatina fiddunya haasana wafil aakhirati hasanah wakina azaabannaar..
Alhamdulillahirabbil Aalamin..
Pekatnya Subuh, 15 Agustus 2009
PENUH HARAP SEMOGA ALLAH MERIDHAI…. 