Petuah 1

Umar berpesan hadapilah dirimu sendiri sebelum kau berhadapan dengan kehidupan akhirat dan pertimbangkanlah segala tindakan sebelum ditimbang di neraca keadilan

Petuah 2

“Dan Orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, niscaya kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan KAMI. Sesunguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik”

Petuah 3

“Siapa yang mencari Ridho Allah sekalipun dibenci manusia, maka Allah akan lindungi dia dari murka manusia” jangan takut berkarya selama dalam kebenaran

Petuah 4

Sesungguhnya semulia mulia iman seorang mukmin adalah yang paling bagus budi pekertinya dan paling lemah lembut kepada keluarganya (HR Tirmudzi)

Petuah 5

Menggali potensi diri adalah seperti mengarungi samudra tanpa batas, selamanya anda tidak akan pernah tuntas mengeksplorasi dan mengeksploitasi nya

Mimpi-mimpi Besar


Letakkan telapak tangan kita di atas dahi. Berusaha merenung dan konsentrasi berpikir. Bertanya pada diri sendiri: "Apa mimpi yang ingin kita raih dalam hidup ini? Apa obsesi yang begitu menyibukkan kita dalam hidup ini? Apa yang kita pikirkan siang dan malam? Apakah yang kita pikirkan itu sifatnya duniawi? Atau ukhrawi? Apakah obsesi dan mimpi kita itu sifatnya umum, atau spesifik?

Saudaraku,
Jawablah pertanyaan-pertanyaan itu dan simpanlah baik-baik dalam ingatan. Panggillah anak dan tanyakanlah, "Apa kondisi yang ia inginkan di masa mendatang?" Bandingkan antara apa yang menjadi keinginan mereka dan keinginan kita di masa depan. Hampir pasti anak-anak akan menjawab keinginan itu secara ideal, tinggi, bahkan mungkin ada yang tidak mungkin diwujudkan. Sedangkan obsesi dan keinginan kita umumnya lebih rendah, tidak terlalu tinggi, dan pandangan yang terbatas. Bahkan, boleh jadi ada sebagian kita merasa berat sekedar berobsesi atau bermimpi dan menginginkan sesuatu yang tinggi serta ideal.

Saudaraku,
Kita, hidup di zaman yang penuh kelemahan. Wajar bila obsesi serta mimpi kita dan masyarakat kita pun menjadi rendah, kurang berbobot, tujuannya pendek. Kita semua sama dalam hal ini. Sebabnya banyak, tapi setidaknya ada sebab penting yang harus kita sadari. Yakni, minim atau tidak adanya "contoh ideal" yang hidup diantara kita. Termasuk contoh dari para orang tua kita, atau kita para bapak dan ibu bagi anak-anak, para pendidik, para guru, para pejabat, para tokoh dan sebagainya. Minim atau tidak adanya figur atau contoh itu, mau tidak mau turut menciptakan lemahnya motivasi kita, untuk memiliki cita-cita atau keinginan yang tinggi. Seperti yang kita alami sekarang ini.

Mari kita perhatikan bagaimana kondisi orang-orang yang memiliki mimpi-mimpi besar. Barangkali kondisi mereka bisa mendorong dan menumbangkan penghalang mimpi yang kini sedang mengepung kita. Barangkali keadaan mereka bisa mengeluarkan kita dari mimpi kecil menjadi mimpi besar. Barangkali peran-peran mereka bisa menjadikan kita memiliki peran-peran yang lebih luas dari sekarang.

Saudaraku,
Adalah Hindun binti Utbah Ummu Mu'awiyah bin Abi Sufyan, seorang wanita yang termasuk memiliki mimpi besar itu. Suatu ketika, saat ia berada di Mina bersama puteranya Mu'awiyah yang baru saja tersandung batu dan terjatuh di atas tanah. Hindun berkata pada anaknya, Mu'awiyah, "Bangunlah, bila engkau biasa bangkit maka engkau akan ditinggikan derajatnya oleh Allah." Seorang yang mendengarkan perkataan ini bertanya, "Mengapa engkau mengatakan seperti itu? Saya yakin bahwa dia (Mu'awiyah) akan memimpin kaumnya." Hindun balik bertanya, "Kaumnya? Allah tidak meninggikan kedudukannya kecuali bila ia memimpin bangsa Arab semuanya."

Ini episode kecil tentang bagaimana mimpi besar seorang ibu. Ia ingin anaknya menjadi pemimpin bangsa Arab semuanya. Dan mimpi itulah yang hadir di pelupuk matanya, dan mimpi itulah yang menjadi panduannya sehari-hari dalam mendidik anaknya. Ia terus menanamkan mimpi itu pada anaknya, dan meyakinkannya. Ia kondisikan keadaannya untuk mencapai mimpi itu. Ia beri asupan apa yang bisa membekalinya mewujudkan mimpinya. Hingga akhirnya, Mu'awiyah memang menjadi khalifah pertama dari khulafa daulah umawiyah. Mu'awiyah memimpin bangsa Arab sekaligus umat Islam selama kurang lebih 20 tahun yakni tahun 661 H – 680 H.

Saudaraku,
Ada kisah lain di zaman kita, tentang ibu dari DR. Ahmd Zewail, yang juga memiliki mimpi besar. Sejak Ahmed masih kecil, sang ibu sudah menuliskan di pintu kamar Ahmad sebuah kalimat "Kamar DR. Ahmed Zewail." Apa yang dituliskannya itu, tak lain merupakan saluran keinginan atau mimpi yang ada dalam diri sang ibu. Dan tampaknya, pesan itu telah sampai dalam diri anaknya. Ahmed Zewail meraih penghargaan Nobel bidang Kimia tahun 1999, dan menjadi salah satu ilmuwan besar dunia. Zewail sendiri mengakui pengaruh motivasi dan mimpi ibunya itu pada dirinya. Tentu bukan hal mudah bagi seorang ibu untuk bisa mewujudkan mimpi besar itu pada Zewail. Karena hari-hari merawat, mendidik dan membesarkan Zewail-lah yang juga menjadi kunci keberhasilan Zewail.

Saudaraku,
Lagi, tentang bagaimana seorang ibu dari Syaikh Abdurrahman As-Sudais yang kini menjadi imam masjidil Haram. Bagaimana sang ibu menanamkan dan mengarahkan mimpi besarnya itu kepada anaknya. Bagaimana sang ibu dalam hari demi hari bersama As-Sudais kecil itu mengingatkannya untuk bisa mencapai mimpinya? Ibunya sering mengingatkan, "Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghafal Kitabullah, kamu adalah Imam Masjidil Haram..." "Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah, kamu adalah imam masjidil haram..." Wahai Abdurrahman, jangan malas menghafal kembali hafalan harianmu, bagaimana kamu bisa menjadi Imam Masjidil Haram bila kamu malas? Akhirnya, Syaikh Abdurrahman As-Sudais kini menjadi imam Masjidil Haram. Dan menjadi salah satu ulama besar yang disegani di dunia Islam.

Saudaraku,
Satu kisah lain yang boleh jadi kita sudah pernah mendengarnya. Seorang sahabat, Rabi'ah bin Kaab Al-Aslami radhiallahu anhu. Dialah yang mengatakan kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah SAW, aku ingin menjadi pendampingmu di surga." Rasulullah SAW mengatakan, "Adakah selain itu ya Rabi'ah?" Rabi'ah menjawab, "Hanya itu ya rasulullah." Lalu Rasulullah SAW mengatakan, "Jika begitu, bantulah aku untuk mencapai keingnanmu itu dengan memperbanyak sujud." (HR. Muslim)

Diriwayatkan, Rabi'ah atas bimbingan orangtuanya, sejak kecil memang sudah kerap kali terlihat dalam kondisi shalat dan sujud. Dan sepanjang usianya, Rabi'ah diriwayatkan tak pernah tertinggal shalat berjamaah. Mengapa Rabi'ah mampu melakukan semua itu? Karena ia ingin meraih mimpinya yang besar tadi. Mimpi ingin menjadi pendamping Rasulullah SAW di surge...

Saudaraku, bandingkanlah antara keinginan kita yang tercetus di awal tulisan ini, dengan keinginan mereka yang bermimpi besar itu? Bandingkanlah obsesi yang ada dalam pikiran kita dengan obsesi mereka. Sesungguhnya, mimpi dan obsesi seseorang yang besar, indikator ia akan menjadi orang besar.
[M. Lili Nur Aulia, sumber: Majalah Tarbawi edisi 220]

Banyak yang Hilang dari Diri Kita


"Kata-kata itu, bisa mati," tulis Sayyid Qutb. "Kata-kata juga akan menjadi beku, meskipun ditulis dengan lirik yang indah atau semangat. Kata-kata akan menjadi seperti itu bila tidak muncul dari hati orang yang kuat meyakini apa yang dikatakannya. Dan seseorang mustahil memiliki keyakinan kuat terhadap apa yang dikatakannya, kecuali jika ia menerjemahkan apa yang ia katakan dalam dirinya sendiri, lalu menjadi visualisasi nyata apa yang ia katakan," lanjut Sayyid Qutb dalam karya monumentalnya Fii Zilaalil Qur'aan.

Saudaraku,
Menjadi penerjemah apa yang dikatakan. Menjadi bukti nyata apa yang diucapkan. Betapa sulitnya. Tapi ini bukan sekedar anjuran. Bukan hanya agar suatu ucapan menjadi berbobot nilai pengaruhnya karena tanpa dipraktikkan, kata-kata menjadi kering, lemah, ringan tak berbobot, seperti yang disinyalir oleh Syayyid Qutb rahimahullah tadi. Lebih dari itu semua, merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah SWT yang tegas menyindir soal ini ada pada surat Al-Baqarah ayat 44 yang artinya, "Apakah kalian memerintahkan manusia untuk melakukan kebaktian, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri dan kalian membaca Al-Kitab. Apakah kalian tidak berakal?"

Membandingkan antara kita hari ini dan masa-masa lalu, akan terasa bahwa ada banyak hal yang hilang dari diri kita. Kita dahulu, yang mungkin baru memiliki ilmu dan pemahaman yang sedikit, tapi banyak beramal dan mempraktikkan ilmu yang sedikit itu. Kita dahulu, yang barangkali belum banyak membaca dan mendapatkan keterangan tentang Allah, tentang Rasulullah SAW, tentang Islam, tapi terasa begitu kuat keyakinan dan banyak amal shalih yang dikerjakan. Kita dahulu, yang belum banyak mendengarkan nasihat, diskusi, arahan para guru dalam menjalankan agama, tapi seperti merasakan kedamaian karena kita melakukan apa yang kita ketahui itu. Meskipun sedikit.

Saudaraku,
Banyak yang hilang dari diri kita…

Saudaraku,
Dahulu, sahabat Ali radhiallahu anhu pernah mengatakan bahwa kelak di akhir zaman akan terjadi sebuah fitnah. Antara lain, ia menyebutkan, "…Ketika seseorang mempelajari ilmu agama bukan untuk diamalkan," itulah ciri fitnah besar yang akan terjadi di akhir zaman. Sahabat lainnya, Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu juga pernah menyinggung hal ini dalam perkataannya, "Belajarlah kalian, dan bila kalian sudah mendapatkan ilmu, maka laksanakanlah ilmu itu." Ilmu dan amal, dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Tapi kita, sepertinya, kini lebih berilmu namun miskin dalam amal…

Saudaraku,
Perhatikanlah, apa saja yang hilang dari diri kita selama ini…?
Barangkali kita termasuk dalam ungkapan Al Hasan Al Bashri rahimahullah ini. Ia mengatakan, "Aku pernah bertemu dengan suatu kaum yang mereka dahulunya adalah orang-orang yang memerintahkan yang makruf dan paling melaksanakan apa yang diserukannya. Mereka juga orang yang paling melarang kemungkaran dan mereka sekaligus orang yang paling menjauhi kemungkaran itu. Tapi kini kita ada di tengah kaum yang memerintahkan pada yang makruf sementara mereka adalah orang yang paling jauh dari yang diserukan. Dan paling banyak melarang kemungkaran, sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat melaksanakan kemungkaran itu. Bagaimana kita bisa hidup dengan orang yang seperti mereka?"

Saudaraku,
Berhentilah sejenak di sini. Duduk dan merenungkan untuk memikirkan apa yang kita bicarakan ini. Perhatikanlah apa yang dikatakan lebih lanjut oleh Sayyid Qutb rahimahullah, "Sesungguhnya iman yang benar adalah ketika ia kokoh di dalam hati dan terlihat bekasnya dalam perilaku. Islam adalah akidah yang bergerak dinamis dan tidak membawa yang negatif. Akidah Islam itu ada dalam alam perasaan dan bergerak hidup mewujudkan indikasinya dalam sikap luar, terterjemah dalam gerak di alam realitas."

Saudaraku,
Jika banyak yang baik-baik, yang hilang dari diri kita, mari memuhasabahi diri sebelum beramal, melihat apa yang menjadi orientasi dan tujuan amal-amal kita selama ini. Jika kita memeriksa niat sebelum beramal, berarti kita sudah membenahi sesuatu yang masih bersifat lintasan hati. Dan itu akan lebih mudah melakukannya. Karena asal muasal suatu pekerjaan itu adalah lintasan. Lintasan hati, dan keinginan hati itu bisa menjadi kiat sampai kemudian menjadi waswas. Dari waswas muncul dorongan untuk dilahirkan dalam bentuk tindakan. Imam Ghazali mengatakan, "Jalan untuk membersihkan jiwa adalah dengan membiasakan pekerjaan yang muncul dari jiwa yang bersih secara sempurna."

Saudaraku,
Jika kita bicara, maka kita sebenarnya diajak bicara oleh diri kita sendiri melalui kata-kata itu. Kata-kata yang kita keluarkan, sebenarnya pertama kali ditujukan pada diri sendiri, sebelum orang lain. Jika kita mendapatkan ilmu, kitalah orang pertama yang harus melakukannya. Dengan perenungan lebih jauh, sahabat Rasulullah SAW yang terkenal dengan sikap zuhudnya, Abu Darda radhiallahu anhu mengatakan, "Aku paling takut kepada Rabbku di hari kiamat bila Dia memanggilku di depan seluruh makhluk dan mengatakan, "Ya Uwaimar." Aku menjawab, "Ya Rabbku…" Lalu Allah mengatakan, "Apakah engkau mengerjakan apa yang sudah engkau ketahui?" Seorang ulama, Syaikh Jibrin yang baru saja wafat meningalkan tulisan begitu menyentuh tentang ini. Ia mengutip sebuah hadits qudsi, bahwa Allah SWT berfirman, "Idzaa ashanii man ya'rifunii, salath tu alaihi man laa ya'rifunii…" Jika orang yang mengenal-Ku melakukan maksiat kepada-Ku, Aku kuasakan dia kepada orang yang tidak mengenal-Ku…"

Saudaraku,
Banyak hal baik yang telah hilang dari diri kita.
[M. Lili Nur Aulia, sumber: Tarbawi edisi 209 Th.11]